Minggu, 25 Desember 2011

Backpacking in Singapore

Pekan lalu saya mendadak dapat tugas dari kantor untuk travelling ke Provinsi Kepulauan Riau. Dengan menumpang pesawat paling pagi ke Batam, disambung taksi ke pelabuhan Telaga Punggur dan menyeberang dengan feri Baruna saya tiba di Tanjung Pinang pukul 09.00 pagi. Ternyata pekerjaan bisa diselesaikan dalam waktu sehari, dan petang hari bisa kembali ke Batam.

Penerbangan ke Jakarta masih > 24 jam, masih cukup waktu untuk menyeberang ke Singapura. Maka sebelum malam, saya ke Pelabuhan Batam Center untuk memesan tiket feri ke Singapura!

Pukul 05.15 WIB

Keluar dari home stay, mampir dulu di kedai kue subuh. Lumayan, dengan tiga lembar uang seribu rupiah bisa dapat 3 potong kue, lumayan buat sarapan. Sarapan di Singapura pasti mahal!

Pukul 06.10 WIB

Ini feri paling pagi, membawa saya tiba di Harbour Front Singapura pukul 8-an waktu setempat atau pukul 7-an WIB. Perjalanan Batam - Singapura ini ibarat orang berangkat kerja Bogor - Jakarta. Bedanya feri Batam - Singapura sekali jalan 29.00 dolar Singapura, kalau naik commuter line Bogor - Jakarta cukup 7.000 Rupiah (atau hanya sekitar 1.00 dolar Singapura!)

Karena ini hari kerja, lumayan bisa melihat kesibukan kota Singapura pada saat orang-orang berangkat kerja naik MRT.

Tujuan utama saya tentu saja Marina Bay tempat duduk Merlion yang menjadi simbol Singapura, serta dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang menjadi landmark kota ini.

Bekal pagi ini adalah sekeping ez-link card tiket MRT yang bisa juga dipakai untuk naik bus (pinjaman sahabat saya yang bekerja di Singapura), selembar peta rute MRT, sebotol air minum dan sekaki payung (juga pinjaman).

Marina Bay dapat dicapai dari HarbourFront menggunakan MRT jalur ungu dan transit di stasiun Dhoby Ghaut ke MRT jalur kuning dan turun di stasiun Esplanade.

Pukul 09.00 Singapore Time (08.00 WIB)

Tiba di stasiun Esplanade, harus berjalan cukup jauh menuju Marina Bay melalui CityLink Mall dan Esplanade Theatre on the Bay. Tentu saja Mall dan Theatre masih tutup. Ini masih terlalu pagi!

walau hari masih pagi, Merlion park di Marina Bay sudah dipenuhi turis, di antara mereka ada yang berbahasa Indonesia. Patung Merlion sepertinya jadi tujuan utama para turis di Marina Bay. Para turis harus rela antri berfoto dengan latar belakang patung yang berbentuk perpaduan Mermaid (duyung) dan Lion (singa). Selain itu ada sederetan landmark lain di Marina Bay, yaitu Esplanade Theatre on the Bay (yang berbentuk kulit durian), Marina Bay Sand (tiga gedung pencakar langit yang di puncaknya saling terhubung Sands SkyPark® berbentuk kapal yang seolah terkandas diatas gedung)dan The Fullerton Hotel (bangunan tua yang menjadi landmark pertama kota Singapura).





Pukul 10.00 Singapore Time (09.00 WIB)

Waktu satu jam cukup lama untuk menikmati Marina Bay sendirian, untuk foto-foto narsis pake kamera HP dengan latar belakang Merlion dan Marina Bay Sands (itu juga harus minta bantuan mbak-mbak Cina daratan dan mas-mas Vietnam).

Di Marina bay tampak hilir mudik kapal river cruise, baru saya sadar Marina Bay memang berada di muara sungai Singapura. Dengan membeli tiket di dermaga dekat Merlion seharga 17 SGD saya menikmati Singapore River Cruise, bergabung dengan rombongan kecil dari Cina daratan, keluarga dari Jepang dan pasangan dari Pilipina (saya sih tidak melakukan wawancara dengan mereka, tapi dari bahasa dan logat mereka, saya bisa menebak dari mana mereka berasal). Hanya saya seorang penumpang kapal yang berasal dari Indonesia.

Perjalanan mengikuti River Cruise sangat menarik, menyusuri Sungai Singapura yang bersih dari muara ke arah hulu, melewati bangunan dan jembatan bersejarah dan beberapa karya seni dengan diiringi narasi audiovisual yang dioperasikan kapten kapal, cukup informatif.





Pukul 11.00 Singapore Time (10.00 WIB)

Perjalanan Singapore River Cruise pp ditempuh sekitar 1 jam. Tujuan saya selanjutnya adalah Bugis Street, cukup dekat dengan Marina Bay. Saya kembali naik MRT dari Stasiun City Hall menuju Stasiun Bugis. Kalau tidak gerimis, sebenarnya saya ingin berjalan kaki.

Kawasan bugis street yang mirip Mangga Dua atau Tanah Abang ini merupakan kawasan belanja ekonomis, semakin serasa di Mangga Dua dan tanah Abang karena banyak pengunjungnya berdialek Jakarta, Medan, Bandung. Inilah jawaban mengapa tadi di river cruise tidak ada penumpang Indonesia selain saya. Orang Indonesia memang lebih senang belanja.

Tujuan utama saya ke Bugis Street adalah untuk mengenali kawasan backpacking Singapura, di kawasan Bugis Street ini banyak backpacker hostel, semacam survei kecil-kecilan bila nanti kembali lagi, dan sekedar makan siang. Saya memilih makan siang "Nasi Padang" yang berlogo halal dari MUI Singapura di Food Court Bugis Junction. Pukul 12 adalah waktu istirahat makan siang di Singapura, sehingga saya harus antri bersama para pekerja.

Masih siang, masih sekitar 6 jam sebelum penerbangan kembali ke Jakarta. Influenza yang semakin berat dan cuaca yang tak baik membuat saya memutuskan untuk kembali ke Batam untuk istirahat sejenak sebelum terbang ke Jakarta. Dengan MRT saya kembali ke HarbourFront.

Pukul 14.20 Singapore Time (13.20 WIB)

Boarding ke Feri Batam Fast, kembali ke Batam. Walau kemana-mana backpack di punggung, ini bukan backpacking yang sebenarnya. Suatu saat saya ingin kembali untuk backpacking di negara ini. See you...

Minggu, 13 November 2011

Hot Adventure...

Setelah saya analisa ternyata Blog ini paling banyak memuat tulisan tentang makanan...Karena saya memang hobi makan!

Selama tahun 2011, ini lah 3 makanan yang paling enak menurut lidah saya:

Ayam Taliwang
Makanan khas Lombok ini boleh dibilang ‘Triple Hot’. Ayam diolah dengan bumbu pedas kemudian setelah matang kembali dibalur dengan bumbu pedas serta dihidangkan dengan plecing kangkung (kangkung rebus dengan sambal) atau beberuk (potongan terung dan kacang panjang dengan sambal) yang juga super pedas. Hidangan ini masih dilengkapi dengan sambal colek pedas. Ini adalah salah satu hal yang membuat selalu ingin kembali ke Pulau Lombok.



Ayam Betutu Gilimanuk
Bali dan Lombok ibarat saudara kandung. Alam dan kebudayaan mereka mirip. Ini juga berlaku untuk makanan. Sama dengan Ayam Taliwang, Ayam Betutu khas Bali bagian barat ini juga hidangan dengan predikat ‘Triple Hot’. Ayam bakar atau ayam kuah dimasak dengan bumbu pedas, dihidangkan dengan plecing kangkung yang juga pedas, dan masih ditemani dengan sambal matah berupa irisan cabe segar dan pelengkapnya.



Bebek H Slamet Asli Kartosuro
Jawa Tengah memang bukan penghasil makanan pedas, daerah ini lebih dikenal dengan masakan yang cenderung manis. Seperti umumnya masakan Jawa, bebek H Slamet ini tidak diolah dengan bumbu pedas. Rasa super pedas ditimbulkan oleh pelengkapnya yaitu ‘Sambal Korek’. Sambal yang disiapkan ketika akan dihidangkan terbuat dari bahan-bahan segar yaitu cabe rawit, bawang merah, bawang putih dan disiram dengan minyak panas. Walau asli Kartosuro, saya justru menemukan kelezatan bebek goreng ini di Yogyakarta dan kemudian di Depok setelah saya tahu restoran ini juga buka cabang di Depok.

Kamis, 13 Oktober 2011

Pulang Ke Kotamu...



Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu.
Masih seperti dulu. Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna ...

Nasi Pecel Wader Bu Ahmad masih seperti dulu. Walau telah berganti generasi, pecelnya tetap ngangeni. Lokasinya memang strategis, tepat di samping gerbang masuk Bandar Udara Adi Sucipto.

Hari ini bangun dini hari, buru-buru ngejar bus bandara jam 4, numpang penerbangan paling pagi ke Jogja jam 6, tiba di joga jam 7 langsung menuju ke TKP, dalam kondisi lapar, wuih, sarapan Pecel Wader bu Ahmad terasa nikmat benar.

Warung pecel ini adalah tipikal Yogyakarta: bersahaja, melegenda dan ngangeni...

***



Ini hanya ada di Jogja, meeting di tengah pasar. Ya, pasar tradisional! Di all seasons Yogyakarta, semua ruang meeting diberi nama pasar-pasar tradisional di Yogyakarta: Pasar Godean, Pasar Giwangan, Pasar Prawirotaman, Pasar Kranggan, Pasar Lempuyangan dan Pasar Beringharjo. Hotel ini berada di kawasan Pasar Kembang. Kawasan Pasar Kembang terlanjur memiliki citra negatif sebagai kawasan pelacuran terselubung. Di kawasan ini banyak penginapan budget untuk turis kelas ransel, dan ini sering dimanfaatkan sebagai tempat transaksi para pria hidung belang dan wanita tuna susila. Kehadiran all seasons Yogyakarta memberi warna baru di kawasan Pasar Kembang, sebagai alternatif venue meeting.

***

Seperti biasa, lidah ini hanya bisa bersahabat dengan makanan hotel tidak lebih dari 36 jam. Untung di depan hotel - di perempatan Jogonegaran/ nDagen/ Kemetiran/ Gandekan - ada Angkringan. Sebungkus nasi kucing, plus tahu-tempe, plus wedang jahe, cukup mengenyangkan lambung yang sudah berebut tempat dengan lemak - sambil bernostalgia masa-masa muda penuh perjuangan di Jogja.

Jumat, 07 Oktober 2011

The Art of Sambal

Sambal siap saji? Itu hal biasa.

Sambal diuleg sesaat akan dihidangkan (sambal dadak, sunda)? Itu luar biasa.

Sambal diracik sendiri? Ini baru super!

Sambal sebagai pelengkap ikan bakar Makassar di tanah Makassar sendiri atau di Kendari punya ciri unik. Setelah memilih sendiri ikan untuk dibakar dan mengambil tempat duduk, dihadapan tamu dihidangkan bahan-bahan pembuat sambal berikut ini:

- Saos kacang
- Cabe rawit kecil(dalam bahasa sumatera disebut cabe kutu, sangat pedas)
- Bawang merah
- Tomat
- Jeruk nipis
- Garam
- Kecap (bila suka)
- MSG (bila suka)
- Daun kemangi (bila suka)



Sambil menunggu ikan matang, tamu meracik sendiri sambal. Tamu bisa berkreasi sesukanya. Pemilik warung menyediakan pisau untuk mengiris bahan sambal, dan piring kecil sebagai wadah. Saya menggunakan semua bahan (kecuali MSG)...nah jadilah sambal ini:

Around Kendari

Untungnya travelling ke kota yang jadwal penerbangannya terbatas adalah bisa extending menunggu penerbangan esok harinya dan di-cover kantor, bisa bergaya a la wisatawan domestik. Masih 24 jam menjelang flight GA 605 ke Jakarta, masih banyak waktu untuk putar-putar keliling Kendari.

[after lunch]: Pantai Nambo. Letaknya sekitar 15 kilo meter dari pusat Kota Kendari ke arah selatan. Pantai ini memiliki hamparan pasir putih halus yang elok.



[menjelang petang]: Toko Souvenir. Souvenir andalan Kendari adalah kain tenun etnis Tolaki, kacang mete dan aneka olahannya. Beberapa items juga bisa ditemukan di Makassar atau bahkan di Pulau Jawa, tapi dengan label Kendari atau Wakatobi.



[dine out]: Kendari Beach. Makan malam di tepi laut dengan menu ikan bakar dan kemudian cuci mulut dengan pisang epek - memang bukan menu original Kendari, tetapi berasal dari Makassar - setidaknya menggambarkan masyarakat Kendari yang heterogen.





[jalan pagi]: Tugu Persatuan. Landmark Kota Kendari, katanya ini tempat warga kota jalan jalan sore menikmati petang dengan berolah raga (futsal, roller blade, dll), kumpul-kumpul komunitas seperti para klub2 motor, atau sekedar nongkrong.



[sun burning]: Pelabuhan Pangkalan Perahu. Pagi yang cerah, menikmati hangatnya mentari pagi, mengamati kesibukan pelabuhan penumpang sambil exercise mengeluarkan keringat. Sulawesi Tenggara memang memiliki teritori daratan dan kepulauan, pelabuhan ini melayani rute ke pulau-pulau dalam provinsi seperti Muna, Buton, Wakatobi dan sekitarnya.

Sofa itu telah tiada

Pertengahan tahun 2007 saya berkunjung ke Mamuju, ibukota Provinsi Sulawesi Barat yang ketika itu baru berusia tiga tahun. Sebelum menjadi ibukota provinsi - saat masih menjadi bagian Provinsi Sulawesi Selatan - Mamuju adalah kota kecil ibukota kabupaten yang tidak terlalu diperhitungkan. Tiba di Mamuju pagi-pagi buta, setelah melalui perjalanan darat semalaman selama 12 jam dari Makassar (saat itu tidak ada penerbangan ke Mamuju), dan setelah hampir setengah jam keliling kota kecil itu berburu kamar akhirnya menghadapi kenyataan: semua hotel, wisma, losmen, penginapan, apa pun namanya - hanya untuk sekedar meluruskan punggung yang pegal - fully booked.

Dengan sedikit memaksa, saya minta izin untuk merebahkan badan di sofa lobi hotel menunggu kamar kosong. Karena kelelahan yang sangat, sempat juga tertidur di lobi hotel itu.

Oktober 2011, empat tahun kemudian saya kembali ke Mamuju dan menginap di hotel itu lagi. Kamar, menu sarapan, pelayan hotel, semua masih seperti yang dulu. Yang berubah hanya satu. Sofa di lobi hotel sudah tiada, diganti dengan kursi kayu minimalis - individual. Mungkin ini adalah strategi hotel untuk menghindari tamu yang ngotot nginap di sofa - seperti yang saya lakukan empat tahun lalu. Semoga saja tidak!


Taste of Kendari

Saat travelling, traditional corner di coffee shop atau restoran hotel adalah menu sarapan yang selalu menarik. Kendari punya Sinonggi, makanan tradisional suku Tolaki, suku utama di daratan Sulawesi Tenggara. Di hotel tempat saya menginap, selalu tersedia Sinonggi sebagai menu sarapan. Nampaknya Sinonggi hanya satu-satunya menu tradisional yang tersedia, bahkan traditional corner sudah dilabel dengan Traditional Food: Sinonggi.



Sinonggi adalah olahan sagu (seperti umumnya kawasan timur Indonesia, olahan sagu merupakan makanan pokok selain nasi) yang dihidangkan dengan sup ikan dan sayur bening. Sinonggi dihidangkan segar, tepung sagu dimasak ketika akan dihidangkan. Sinonggi mirip dengan Kapurung (Luwu, Sulawesi Selatan) dan Papeda (Papua dan Maluku), tentu saja Sinonggi dengan taste khas Kendari.

Selasa, 27 September 2011

"Lounge Bandara" seharga Rp. 3.000,-

Kemarin aku harus mengucapkan terimakasih kepada convenience store di Ahmad Yani International Airport.

Dengan 1 cup kopi Kapal Api seduh seharga tiga ribu rupiah, bisa nongkrong di ruangan ber AC menunggu penerbangan untuk kembali ke Jakarta, dan paling penting bisa nyolokin laptop yang baterenya sudah bocor (sehingga harus selalu di di plug in untuk mendapat arus listrik). Heran, sebenarnya jualan atau sedang melakukan bakti sosial sih?

Beberapa convenience store di Indonesia sekarang memang menyediakan meja dan beberapa kursi untuk pelanggan yang mampir untuk minum kopi instant, tapi menyediakan arus listrik saya pikir masih langka. Bahkan di kedai kopi waralaba asing yang harga secangkir kopi bisa untuk makan lima piring nasi di warteg harus rebutan nyolokin laptop.

Untuk sementara aku bisa melupakan bagaimana meng-upgrade GFF yang masih biru ke gold biar bisa nongkrong di lounge bandara...

Senin, 26 September 2011

Duty Travel Rates

On duty travel to Semarang. Nginap di Hotel *** dengan pilihan harga room only, lebih murah hampir seratus ribu dibanding include breakfast. Sebenarnya rate normal hotel ini (include breakfast) tidak sesuai untuk kualifikasi saya. Tapi dengan ambil room only, harganya jadi 'masuk'.

Kebetulan lagi mengurangi porsi makan. Hidangan sarapan prasmanan di hotel hanya membuat porsi makan lebih banyak. Pada saat perjalanan ke daerah, saya sebenarnya lebih suka menu sarapan penduduk setempat. Walaupun umumnya ada traditional corner di restoran hotel, tapi rasanya tidak ‘nendang’ seperti masakan warung. Atau malah traditional corner menyediakan menu daerah lain. Di salah satu hotel di Bangka, menu traditional corner adalah nasi uduk betawi dan bubur ayam cianjur, gak nyambung kan? Kebetulan hanya beberapa langkah dari hotel ada Warung Soto Sami Rasa. Warung ini mulai buka pukul tujuh pagi. Pagi tadi saya melahap Soto + Nasi Putih + Tempe + Kerupuk Udang + Telur Kecap + Teh Manis: cuma Rp. 17.500.

Di luar itu, dapat bonus city views Simpang Lima, landmark kota Semarang dari jendela kamar di lantai 10.

Minggu, 25 September 2011

Si Kutu Buku

Ketika gadis bayi, mamanya langganan majalah Ayah Bunda dan saya langganan majalah Trubus. Ketika gadis beranjak besar, koleksi majalah menjadi mainan yang sangat disukai gadis. Gambar-gambar di majalah itu menarik perhatian gadis, dia menyukai majalah-majalah itu sejak pandangan pertama. Gadis bahkan sudah bisa membalik halaman majalah secara benar dengan jemari mungilnya ketika dia belum berjalan dengan lancar. Mungkin karena senang dengan majalah dan buku, gadis sudah bisa membaca pada usia empat tahun.

Berdasar pengalaman saya, anak-anak hanya perlu pembiasaan. Dengan membiasakan anak-anak bergaul dengan bacaan, otomatis anak akan gemar membaca.

Dan juga penting adalah sikap orang tua terhadap bacaan. Bila orang tua bersikap bahwa buku penting dan membaca fun, anak juga akan bersikap sama.





Kamis, 22 September 2011

Weekend Tanpa Ke Mall

Weekend dengan keluarga ke shopping mall memang praktis, semua bisa dilakukan di suatu tempat. Ke toko buku, makan siang, main game, nonton film, nonton pentas seni, dan belanja keperluan rumah. One stop shopping, demikianlah konsep shopping mall.

Terlalu sering ke shoping mall sebenarnya tidak baik bagi perkembangan anak - anak. Setiap ke mall anak didorong untuk mengkonsumsi, tanpa disadari mereka bisa lebih konsumtif.

Sebenarnya banyak pilihan weekend tanpa ke mall. Di Jakarta ada puluhan museum dan taman. Banyak tempat untuk menghabiskan akhir pekan sambil belajar.

Kawasan Kota Tua

Banyak museum dan peninggalan sejarah terkonsentrasi di satu kawasan, kawasan kota tua. Dekat dengan stasiun kereta, tiket masuk museum pun murah. Di kawasan ini ada Museum Sejarah Jakarta dan Taman Fatahillah, Museum Wayang, Museum Seni Rupa, Museum Bank Mandiri, Museum Bahari dan Menara Syahbandar.















Kawasan Monas

Puncak Monas adalah tempat yang ideal untuk mengamati bangunan-bangunan era kolonial. Hanya beberapa puluh meter dari Monas ada Museum Nasional atau yang lebih dikenal sebagai Museum Gajah.







Banyak museum dan taman di TMII...

Ada puluhan museum dan taman di TMII, perlu sehari penuh untuk menikmati satu museum. So far kami baru mengunjungi Museum Transportasi, Museum Perangko, Pusat Peragaan IPTEK, Aquarium Air Tawar, Museum Listrik dan Energi Baru. Masih banyak yang harus dikunjungi.





Kebun Binatang Ragunan

Untuk mengamati ratusan jenis hewan plus menikmati udara segar, cuma beberapa kilometer dari rumah dan tiket masuk yang murah, Kebun Binatang Ragunan adalah pilihannya.





Kebun Raya Bogor

Ada ribuan koleksi tanaman di Kebun Raya Bogor, perlu seharian untuk dikelilingi. Di Kebun Raya Bogor juga ada Museum Zoologi. Dan hanya beberapa puluh meter dari Kebun Raya ada Museum Etnobotani.



Minggu, 18 September 2011

Lesehan

Lesehan (dari bahasa Jawa) pada mulanya adalah suatu budaya dalam hal memperjualbelikan makanan atau barang sembari duduk di tikar/lantai. Makanan atau barang yang diperjualbelikan turut digelar pada saat lesehan sehingga pengunjung bisa melihat, memilih dan menikmatinya dengan santai. Budaya Lesehan yang sangat terkenal di Indonesia adalah di daerah Yogyakarta.

Warung lesehan Yogyakarta pada awalnya hanya karena alasan pragmatis, memanfaatkan kaki lima untuk berdagang makanan tanpa perlu mengeluarkan modal yang besar untuk membangun warung, cukup dengan membentangkan tikar di kaki lima maka jadilah "warung" lesehan. Di kawasan Malioboro kaki lima pada siang hari digunakan untuk menjual cenderamata kemudian malam hari disulap menjadi warung lesehan. Belakangan warung lesehan beroperasi juga siang hari.

Konsep lesehan memang cocok digunakan untuk warung/ rumah makan yang menyajikan makanan tradisional nusantara. Makan dengan cara duduk bersila di tikar/lantai merupakan cara makan yang umum bagi masyarakat Nusantara. Tak jelas, apakah warung/ rumah makan lesehan yang berkembang belakangan terinspirasi dari lesehan a la Malioboro, namun tak dapat dipungkiri Kawasan Malioboro di Yogyakarta sudah menjadi sentra kuliner malam hari sejak berpuluh tahun yang lalu turut mempopulerkan style ini.

Konsep lesehan ini berkembang tidak hanya digunakan oleh warung kaki lima, tetapi digunakan juga oleh rumah makan yang menyajikan makanan tradisional. Sebagai tempat makan dipilih bangunan berbentuk gubug (Jawa) dan saung (Sunda). Aslinya gubug dan saung merupakan tempat berteduh di sawah, kemudian sangat cocok digunakan untuk rumah makan berkonsep lesehan, terutama yang dipadukan dengan alam.

Di Lombok, yang terkenal dengan kuliner Ayam Taliwang dan Plecing Kangkung, rumah makan lesehan menggunakan berugak. Berugak adalah salah satu jenis bangunan dalam rumah tradisional suku Sasak di Lombok. Rumah tradisonal Sasak biasanya terdiri dari rumah tempat tinggal yang disebut Bale Tani, Lumbung untuk menyimpan padi dan Berugak. Berugak adalah sebuah bangunan panggung berbentuk segi empat yang tidak memiliki dinding, tiangnya terbuat dari kayu atau bambu beratapkan alang-alang, dan disangga oleh empat tiang (sekepat), atau enam tiang (sekenem). Berugak berfungsi sebagai tempat untuk menerima tamu (karena alasan privasi orang Sasak tidak menerima tamu di rumah utama), dan juga digunakan sebagai tempat untuk berkumpul, berbincang-bincang serta bersantai selepas bekerja. Biasanya Berugak terdapat di depan samping kiri atau samping kanan Bale Tani.

Di Banjarmasin saya pernah makan di Waroeng Pondok Bahari, juga dengan konsep lesehan. Menariknya, rumah makan ini menempati rumah panggung era 50an/ 60an. Rumah tinggal yang pada eranya merupakan tipikal rumah orang berpunya ini, di banyak tempat umumnya sudah dibongkar dan digantikan oleh bangunan baru. Makan di rumah makan ini seperti sedang pulang ke rumah nenek. Suatu kemampuan pemilik ide mengeksplorasi keunikan daerahnya. Ide yang benar-benar orisinil.

Sayangnya, di banyak tempat di Indonesia konsep lesehan ini hanya copy - paste saja dari apa yang ada di Pulau Jawa. Beberapa bulan yang lalu saya travelling ke Sumatera Barat dan Riau. Ternyata warung lesehan sekarang juga menjamur di sana, tapi hanya sekedar meng-copy warung lesehan di tempat lain, bahkan juga menggunakan istilah 'warung lesehan'. Padahal bila sedikit lebih cerdas, mereka bisa mengeksplorasi tradisi dan keunikan sendiri. Di Payakumbuh saya melihat banyak rumah tradisional dengan atap bagonjong terbiar melapuk tak dihuni, sementara di halamannya berdiri 'warung lesehan'.

Sabtu, 17 September 2011

Dunia anak-anak adalah dunia bermain.

Sejak bersiap menjadi ayah, salah satu bacaan yang saya minati adalah buku dan artikel tentang parenting. Dalam perjalanannya saya menemukan anak-anak adalah juga buku tempat tuhan mengajarkan teori parenting kepada kita.

Dari anak pertama saya belajar "main tebak-tebakan"...

Sejak belum bisa membaca, bahkan seingat saya sejak dia belum lancar berjalan, gadis sudah kutu buku. Setelah bisa membaca pada usia 4 tahun, gadis semakin gila buku.
Waktu mudik lebaran (ketika itu gadis berusia 5 tahun) kami kehabisan bahan bacaan untuk si kutu buku ini, sementara tidak mudah mendapatkan bacaan anak di kampung. Beberapa buku sepupunya yang sudah ABG terpaksa diseleksi yang cocok untuk si sulung. Salah satunya adalah buku “tebak-tebakan”.

Rupanya gadis sangat terkesan dengan buku tebak-tebakan itu. Sekembali ke Jakarta dia minta buku yang sama. Karena di rumah tidak ada buku jenis itu, saya meminta gadis untuk mengerjakan latihan soal untuk kelas 1 yang ada di majalah anak-anak. Tak disangka, gadis menyukai kegiatan latihan soal itu. Gadis menyebut latihan soal itu sebagai 'main tebak-tebakan". Main tebak-tebakan itu berlanjut hingga SD. Mengerjakan latihan soal atau PR bagi gadis bukan belajar, tapi main tebak-tebakan.

Dari anak kedua saya belajar "main angka"...

Anak kedua kami menyukai “main angka” sejak mulai diperkenalkan konsep bilangan dan simbol angka di Taman Kanak-Kanak. Yang dia maksud dengan main angka adalah menulis angka di tembok, lantai, daun pintu, kaca jendela, bahkan lemari. Walaupun disediakan alat tulis, media favoritnya menulis adalah tembok, dan alat tulis favoritnya adalah spidol. Coretan didinding berkembang sejalan dengan pemahamannya terhadap fungsi penjumlahan, pengurangan dan perkalian. Awalnya hanya menuliskan simbol angka, kemudian coretan di dinding berkembang menjadi penjumlahan dan pengurangan. Kami membiarkan tembok rumah penuh coretan, baru di cat ulang setelah bujang kelas 2 SD. Sekarang bujang menyenangi pelajaran matematika, yang bagi dia adalah main angka. Bahkan dia menciptakan sendiri istilah "main angka"

Main restoran-restoranan

Belajar dari mereka, untuk mengurangi makan di luar rumah saya mengajak anak-anak main restoran-restoranan. Mereka adalah pemilik restoran (yang notabene adalah ruang makan di rumah kami), dan mereka yang menentukan menu, kadang mereka juga ikut memasak. Mereka menikmati kegiatan ini, dan kami berhasil mengurangi frekuensi makan di luar.

Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Kata "main" seperti kata magis bagi anak-anak. Anak-anak melakukan apa pun tanpa beban bila bagi mereka itu adalah "bermain".

Rabu, 14 September 2011

Sambung Menyambung Menjadi Satu (1)

Ini tentang sesuatu yang biasa saja tapi cukup mengesankan; dokumentasi dari perjalanan dinas dalam rangka pengawasan Pendataan Sapi Potong Sapi Perah dan Kerbau (PSPK 2011) pada tanggal 16 Juni 2011.

Sapi Bali (Bos sondaicus) adalah sapi hasil penjinakan (domestikasi) banteng liar yang telah dilakukan sejak akhir abad ke 19 di Bali.

Sapi Bali pada foto di bawah ini dipelihara oleh transmigran asal Jawa di District Oransbari Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Foto ini hasil jepretan Pak Ngah yang berasal dari Sumatera...sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia.

Selasa, 09 Agustus 2011

My First Office



Tempat Kejadian Perkara: Desa Bukit Lipai;
Kecamatan Batang Cenaku; Kabupaten Inderagiri Hulu; Provinsi Riau(trust me! you can't find this place in map...)

Dalam hidup ini banyak mimpi kita yang diwujudkan oleh Tuhan, tapi kadang kita harus melalui jalan yang tak direncanakan.

Lebih setahun saya melalui hidup di sini, in the middle of no where, I started my career here as a field veterinarian, mix practices, serving rural smallholder farmers.

Walau pernah merasa banyak waktu yang terbuang di tempat ini, fasilitas yang sangat minim, karir yang tak jelas, penghasilan yang tak memuaskan, tapi dengan berjalan waktu, capaian-capaian saat ini, pada akhirnya menyadari bahwa banyak pengalaman berharga didapatkan disini.

Tempat ini menjadikan perjalanan karir saya sebagai dokter hewan terasa lengkap, dari PUSKESWAN sebagai baris terdepan pelayanan kesehatan hewan di lapangan hingga ke pusat National Veterinary Services.