Sabtu, 17 September 2011

Dunia anak-anak adalah dunia bermain.

Sejak bersiap menjadi ayah, salah satu bacaan yang saya minati adalah buku dan artikel tentang parenting. Dalam perjalanannya saya menemukan anak-anak adalah juga buku tempat tuhan mengajarkan teori parenting kepada kita.

Dari anak pertama saya belajar "main tebak-tebakan"...

Sejak belum bisa membaca, bahkan seingat saya sejak dia belum lancar berjalan, gadis sudah kutu buku. Setelah bisa membaca pada usia 4 tahun, gadis semakin gila buku.
Waktu mudik lebaran (ketika itu gadis berusia 5 tahun) kami kehabisan bahan bacaan untuk si kutu buku ini, sementara tidak mudah mendapatkan bacaan anak di kampung. Beberapa buku sepupunya yang sudah ABG terpaksa diseleksi yang cocok untuk si sulung. Salah satunya adalah buku “tebak-tebakan”.

Rupanya gadis sangat terkesan dengan buku tebak-tebakan itu. Sekembali ke Jakarta dia minta buku yang sama. Karena di rumah tidak ada buku jenis itu, saya meminta gadis untuk mengerjakan latihan soal untuk kelas 1 yang ada di majalah anak-anak. Tak disangka, gadis menyukai kegiatan latihan soal itu. Gadis menyebut latihan soal itu sebagai 'main tebak-tebakan". Main tebak-tebakan itu berlanjut hingga SD. Mengerjakan latihan soal atau PR bagi gadis bukan belajar, tapi main tebak-tebakan.

Dari anak kedua saya belajar "main angka"...

Anak kedua kami menyukai “main angka” sejak mulai diperkenalkan konsep bilangan dan simbol angka di Taman Kanak-Kanak. Yang dia maksud dengan main angka adalah menulis angka di tembok, lantai, daun pintu, kaca jendela, bahkan lemari. Walaupun disediakan alat tulis, media favoritnya menulis adalah tembok, dan alat tulis favoritnya adalah spidol. Coretan didinding berkembang sejalan dengan pemahamannya terhadap fungsi penjumlahan, pengurangan dan perkalian. Awalnya hanya menuliskan simbol angka, kemudian coretan di dinding berkembang menjadi penjumlahan dan pengurangan. Kami membiarkan tembok rumah penuh coretan, baru di cat ulang setelah bujang kelas 2 SD. Sekarang bujang menyenangi pelajaran matematika, yang bagi dia adalah main angka. Bahkan dia menciptakan sendiri istilah "main angka"

Main restoran-restoranan

Belajar dari mereka, untuk mengurangi makan di luar rumah saya mengajak anak-anak main restoran-restoranan. Mereka adalah pemilik restoran (yang notabene adalah ruang makan di rumah kami), dan mereka yang menentukan menu, kadang mereka juga ikut memasak. Mereka menikmati kegiatan ini, dan kami berhasil mengurangi frekuensi makan di luar.

Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Kata "main" seperti kata magis bagi anak-anak. Anak-anak melakukan apa pun tanpa beban bila bagi mereka itu adalah "bermain".

Tidak ada komentar: