Lesehan (dari bahasa Jawa) pada mulanya adalah suatu budaya dalam hal memperjualbelikan makanan atau barang sembari duduk di tikar/lantai. Makanan atau barang yang diperjualbelikan turut digelar pada saat lesehan sehingga pengunjung bisa melihat, memilih dan menikmatinya dengan santai. Budaya Lesehan yang sangat terkenal di Indonesia adalah di daerah Yogyakarta.
Warung lesehan Yogyakarta pada awalnya hanya karena alasan pragmatis, memanfaatkan kaki lima untuk berdagang makanan tanpa perlu mengeluarkan modal yang besar untuk membangun warung, cukup dengan membentangkan tikar di kaki lima maka jadilah "warung" lesehan. Di kawasan Malioboro kaki lima pada siang hari digunakan untuk menjual cenderamata kemudian malam hari disulap menjadi warung lesehan. Belakangan warung lesehan beroperasi juga siang hari.
Konsep lesehan memang cocok digunakan untuk warung/ rumah makan yang menyajikan makanan tradisional nusantara. Makan dengan cara duduk bersila di tikar/lantai merupakan cara makan yang umum bagi masyarakat Nusantara. Tak jelas, apakah warung/ rumah makan lesehan yang berkembang belakangan terinspirasi dari lesehan a la Malioboro, namun tak dapat dipungkiri Kawasan Malioboro di Yogyakarta sudah menjadi sentra kuliner malam hari sejak berpuluh tahun yang lalu turut mempopulerkan style ini.
Konsep lesehan ini berkembang tidak hanya digunakan oleh warung kaki lima, tetapi digunakan juga oleh rumah makan yang menyajikan makanan tradisional. Sebagai tempat makan dipilih bangunan berbentuk gubug (Jawa) dan saung (Sunda). Aslinya gubug dan saung merupakan tempat berteduh di sawah, kemudian sangat cocok digunakan untuk rumah makan berkonsep lesehan, terutama yang dipadukan dengan alam.
Di Lombok, yang terkenal dengan kuliner Ayam Taliwang dan Plecing Kangkung, rumah makan lesehan menggunakan berugak. Berugak adalah salah satu jenis bangunan dalam rumah tradisional suku Sasak di Lombok. Rumah tradisonal Sasak biasanya terdiri dari rumah tempat tinggal yang disebut Bale Tani, Lumbung untuk menyimpan padi dan Berugak. Berugak adalah sebuah bangunan panggung berbentuk segi empat yang tidak memiliki dinding, tiangnya terbuat dari kayu atau bambu beratapkan alang-alang, dan disangga oleh empat tiang (sekepat), atau enam tiang (sekenem). Berugak berfungsi sebagai tempat untuk menerima tamu (karena alasan privasi orang Sasak tidak menerima tamu di rumah utama), dan juga digunakan sebagai tempat untuk berkumpul, berbincang-bincang serta bersantai selepas bekerja. Biasanya Berugak terdapat di depan samping kiri atau samping kanan Bale Tani.
Di Banjarmasin saya pernah makan di Waroeng Pondok Bahari, juga dengan konsep lesehan. Menariknya, rumah makan ini menempati rumah panggung era 50an/ 60an. Rumah tinggal yang pada eranya merupakan tipikal rumah orang berpunya ini, di banyak tempat umumnya sudah dibongkar dan digantikan oleh bangunan baru. Makan di rumah makan ini seperti sedang pulang ke rumah nenek. Suatu kemampuan pemilik ide mengeksplorasi keunikan daerahnya. Ide yang benar-benar orisinil.
Sayangnya, di banyak tempat di Indonesia konsep lesehan ini hanya copy - paste saja dari apa yang ada di Pulau Jawa. Beberapa bulan yang lalu saya travelling ke Sumatera Barat dan Riau. Ternyata warung lesehan sekarang juga menjamur di sana, tapi hanya sekedar meng-copy warung lesehan di tempat lain, bahkan juga menggunakan istilah 'warung lesehan'. Padahal bila sedikit lebih cerdas, mereka bisa mengeksplorasi tradisi dan keunikan sendiri. Di Payakumbuh saya melihat banyak rumah tradisional dengan atap bagonjong terbiar melapuk tak dihuni, sementara di halamannya berdiri 'warung lesehan'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar