Selasa, 23 November 2010

Kerupuk Kuah

balik kampung berhari raya
penghujung Ramadhan 1431 hijriah
menunjukkan kepada anak bujang dan dara
dua versi kerupuk kuah
kuah sate dan kuah sambal sama pedasnya

kepada mereka aku bercerita
inilah jajanan ayah
masa kanak-kanak bersekolah
Di SD lima Batu Gajah

membuat kerupuk pun mereka coba
hati senang alang kepalang
bagaikan si bolang bocah petualang
di acara televisi kesukaannya

Kerupuk Kuah Sambal

Kerupuk Kuah Sate

Membuat Kerupuk

Bujang Belajar Silat


Bujang
Enam tahun umur mu sudah
Selagi kecil berusia muda
Ajar diri tempa jiwa
Agar dewasa bijak laksana

Anak bujang perlu berlasak
Lebih kacak kalau pandai berpencak
Aku ingin engkau belajar Silat Kuantan yang rancak
Di laman silat menghatur sembah kepada guru dan orang tua
Membuka langkah, langkah empat silat pusaka
Tapi di sini guru tiada

Ku hantar engkau ke perguruan
silat warisan berasas pada AlQur'an
berjiwa persaudaraan
di bawah naungan persyarikatan

Tapak Suci silat warisan
berasas As Sunnah
tampil sebagai seni dan ilmu pengetahuan
yang rasional dan ilmiah

dengan iman dan akhlak menjadi kuat
tanpa iman dan akhlak menjadi lemah
bersilat adalah ibadat
selamatkan akherat bahagiakan dunia

***

Sabtu, 02 Oktober 2010

Dreams from My Brother

Selembar kartu pos cetakan 1970an bergambar Grand Canyon National Park Arizona yang aku temukan di rak buku di rumah kami, sudah menarik perhatianku sejak kecil, mungkin sekitar kelas 3 – 4 SD. Sungguh pemandangan yang mengagumkan, pegunungan yang terpahat secara alami seluas mata memandang. Kartu pos itu merupakan souvenir dari The Voice of America (VOA) dan tersimpan bersama koleksi filateli Abang ketika dia SMP hingga SMA.



Pada tahun 1970an ketika Abang SMP dan SMA (bahkan hingga akhir 1980an dan 1990an ketika aku SMP dan SMA) mendengarkan Radio siaran asing seperti BBC, VOA, ABC dll adalah satu dari sedikit cara mengenal dunia dan belajar bahasa Inggeris dari native speaker di desa pinggir hutan dimana kami dibesarkan di pedalaman Sumatera. Mengandalkan radio SW (Short Wave) dan Battery “Cap Kucing” (karena tiada jaringan PLN) secara rutin mendengarkan radio sambil tiduran atau duduk di meja belajar di sela mengerjakan PR, sesekali menulis surat ke stasiun radio itu, mendapat kiriman program siaran, buku pelajaran bahasa Inggeris dan souvenir (berupa kartu pos, atau stiker), agar tak jadi “katak di bawah tempurung” sering sambil bermimpi keliling dunia “bagai pungguk rindukan bulan”.



Beberapa tahun kemudian, sekitar pertengahan tahun 1988 kami menerima kiriman surat dari Abang yang sedang studi post graduate di Amerika Serikat, terlampir beberapa foto dan salah satu adalah foto Abang berlatar belakang Grand Canyon! Surprised, sama dengan kartu pos yang ku kagumi itu.



Beberapa hari yang lalu, aku kembali menemukan Grand Canyon, kali ini di dinding facebook Abang, luar biasa! Dua puluh tahun kemudian Abang kembali ke Grand Canyon. Kali ini Abang kembali ke Grand Canyon bersama sang isteri tercinta.



Dan, ini lah aku, April 2015 menjejakkan kaki di sini, bukan di Grand Canyon - tetapi setidaknya di daratan yang sama dengan Grand Canyon.


Jauh sebelum membaca “Laskar Pelangi” dan “Sang Pemimpi” karya Andrea Hirata, aku sudah percaya dengan kekuatan mimpi. Bagi kami anak desa, dari keluarga yang sangat sederhana, mimpi adalah modal besar untuk meraih cita-cita. Alhamdulillah, sejak kecil hingga hari ini, Abang selalu menjadi inspirasi bagiku, bermimpi, berusaha dan berserah pada Yang Maha Kuasa.

Minggu, 14 Maret 2010

Sejarah Kebun Getah di kampung kami



Tanaman karet merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Riau. Dalam bahasa lokal karet di sebut getah, sama dengan nama yang digunakan di semenanjung Malaya. Bagi saya, menarik untuk mengenal sejarah perkebunan karet di Riau.

Perkembangan Perkebunan Karet tak dapat dipisahkan dari adanya krisis tembakau dan kopi yang menjadi komoditas andalan pemerintah kolonial Hindia Belanda, mendorong pemerintahan Hindia Belanda untuk membangun perkebunan karet. Pada tahun 1864, Perkebunan Karet mulai diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia, dengan pertama kali dibuka di daerah Pamanukan dan Ciasem (Jawa Barat) oleh Hofland perusahaan Belanda. Jenis tanaman karet yang ditanam di waktu itu adalah karet “rambung” (Ficus elastica). Dan karet jenis Hevea brasiliensis baru ditanam di Sumatera Timur, tahun 1902. Perkebunan Karet di Indonesia lebih berkembang setelah Netherlands Indies membuka pintu bagi para investor asing, terutama dari Inggris, Belanda dan Belgia serta Amerika. Seiring dengan itu, pemerintah Hindia Belanda untuk pertama kalinya memperkenalkan sistem perkebunan besar (modern) yang dibuka di daerah Indragiri pada 1893. Selanjutnya disusul oleh perkebunan perkebunan lainnya. Sehingga pada 1915, di seluruh Kepulauan Riau, Indragiri dan Kuantan terdapat 12 onderneming. Tanah-tanah erfpacht yang luas di Japura, Kelawat, Sungai Lala, Sungai Parit, Gading, Air Molek dan Sungai Sagu, kemudian dimanfaatkan untuk ditanami pohon karet.

Seiring dengan perkembangan permintaan karet-alam Dunia, terutama setelah adanya pengaruh “boom” harga karet-alam setelah PD II. Perkebunan karet yang dikelola oleh rakyat (perkebunan rakyat) sudah terlebih dahulu di kenal masyarakat Riau, bahkan jauh sebelum diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Petani mendapatkan benih atau bibit tanaman karet dari para jemaah haji yang singgah di Malaysia atau Singapura. Perantau Kuantan di Semenanjung Malaya juga dipercaya sebagai pembawa bibit karet. Sejarah mencatat orang Kuantan - Riau ramai yang merantau ke Semenanjung Malaya terutama akhir abad XIX dan awal abad XX, yang dikenal sebagai “poi ke Kolang”. Di semenanjung Malaya, sebagian perantau Kuantan ada yang berkebun Karet. Selain itu pedagang-pedagang Cina/ tauke (Malaysia dan Singapura) yang membeli produksi karet-rakyat, juga sering membawakan benih-benih karet untuk ditanam. Karena itu tanaman karet sudah merupakan bagian dari budaya kehidupan para petani di Riau. Selain didukung oleh kondisi alam, juga sistem pertanian-kebun bagi masyarakat Riau merupakan suatu bentuk adaptasi di bidang pertanian, karena cengkraman iklim dan kesuburan tanah di Riau yang tidak sebaik di Jawa yang sarat dengan intensifikasi tanaman pangan, maka subsektor perkebunan di Propinsi Riau melaju lebih cepat dibanding dengan sektor pertanian tanaman pangan.

Jadi budaya pertani-kebun yang mendasari kehidupan penduduk di Riau adalah kehidupan pertanian yang berpusat pada lahan kering. Sehingga tanaman-tanaman utama yang telah lama menjadi kesukaan dan setting budaya mereka adalah tanaman karet dan kelapa.

Sejarah perkembangan perkebunan karet Inderagiri didominasi oleh perusahaan perkebunan milik pemerintah kolonial ataupun swasta. Perkebunan Karet ini menjadi salah satu daya tarik perantau Jawa untuk migrasi ke Inderagiri dan bekerja di Perkebunan Karet (selain pertambangan minyak). Tidak heran daerah perkebunan Karet di Inderagiri terutama Airmolek dan sekitarnya bertumbuh menjadi daerah yang multietnik, dengan proporsi penduduk dari suku Jawa cukup besar, jauh sebelum pemerintah menyelenggarakan program transmigrasi. Jejak kejayaan Perkebunan Karet di daerah Airmolek pada masa lalu di antaranya adalah Rumah Sakit Plantagen, milik salah satu Perusahaan Karet pada masa itu. Terakhir saya melihat Rumah Sakit yang sudah menjadi bangunan kosong tak terawat pada tahun 2002. Mudah-mudahan bangunan RS itu masih eksis dan alangkah baiknya bila dikonservasi dan dijadikan benda cagar budaya.

Sementara itu di Kuantan, perkembangan Perkebunan Karet didominasi oleh Perkebunan Rakyat, dengan latar belakang sejarah seperti diuraikan di atas. Baru kemudian pada era 1990an perkebunan rakyat tersebut mendapat perhatian serius pengembangannya oleh pemerintah melalui program Small Holder Rubber Development Project (SRDP).

Tipikal Kebun Karet Rakyat Ekstensif Pra-SRDP


Mesin Penggiling Getah Untuk Mengolah Getah Keping...Klasik


Di olah dari http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(5)soca-ikin sadikin-dampak pemb perkbn(1).pdf

Kamis, 25 Februari 2010

Sea World Club Maumere: Hotel tak Harus Mewah

Sea World Club adalah hotel dengan konsep resort tepi pantai (beachfront Hotel-Resort). Ada beberapa bungalow/ cottage bergaya bangunan tradisional Indonesia dengan lanskap tropis khas Flores. Berbagai tipe bungalow/ cottage tersedia untuk dipilih sesuai kebutuhan (dan kantong) yaitu Beachfront Suite Bungalow, Honeymoon Suite, Family Villa, Beachfront and Beachview Houses, Superior Cottage dan Garden Cottage. Bersama tiga teman lain, kami memilih Beachfront House, rumah panggung 2 kamar masing-masing twin share yang langsung berhadapan dengan laut dan bila malam ombak terhempas hingga ke tangga cottage, lumayan murah 400.000/ malam/ cottage sudah termasuk sarapan.

Sea World Club merupakan milik yayasan sosial YASPEM yang menjalankan beberapa kegiatan amal di Maumere. Pendiri YASPEM adalah seorang pensiunan pastur/ pater Bollen. Penghasilan dari Sea World digunakan untuk kegiatan amal yayasan. Pater Bollen sekarang tinggal di Sea World Club. Mungkin karena sang pater berasal dari Jerman, banyak turis yang datang berkebangsaan Jerman.

'Beachfront House', khas tropis


Beranda 'Beachfront House' untuk bersantai


Sea World Club terletak di teluk dengan pantai yang tenang sangat sempurna untuk berenang dan snorkelling atau scuba diving. Saya datang ke sana bukan untuk berlibur, tapi untuk bekerja. Tidak ada banyak waktu untuk bersenang-senang. Tapi duduk di teras cottage sambil menikmati deburan ombak dan sunsets sudah luar biasa nikmatnya.

Hanya beberapa langkah ke pantai


Sunset dapat dinikmati dari beranda


Open Air Restaurant berada di kompleks ini menyajikan masakan Indonesia dan Internasional. Tentu saja karena Maumere kaya akan hasil laut, makanan yang diandalkan adalah ikan bakar dan seafood. Pada malam tertentu, pengunjung dihibur oleh 'musik kampung' yang dibawakan oleh masyarakat sekitar.

Bangunan Open Air Restaurant


Interior Open Air Restaurant


Bangunan hotel, restoran dan front office serta furniture hampir semuanya terbuat dari kayu, bambu dan rotan. Bagi wisatawan lokal, Sea World Club mungkin jauh dari kesan mewah. Bahkan mungkin sangat sederhana. Tetapi kesan tropis yang ditampilkan berpadu dengan keindahan pantai dan alam bawah laut serta konsep amal (penghasilan untuk kegiatan amal/ charity) telah menjadikannya sangat populer dan ramai dukunjungi wisatawan asing, terutama Eropa. Suatu pelajaran bahwa kesuksesan menjual pariwisata tidak selalu bermodalkan kemewahan tetapi lebih kepada konsep, keunikan dan kualitas pelayanan.

Kredit Foto http://www.sea-world-club.com/

Depok: Belajar Sejarah di Mall

Margonda City atau lebih terkenal dengan Margo City adalah satu di antara Mall yang berdiri di Kota Depok, Jawa Barat. Seperti kota-kota lain di Indonesia, Mall seolah merupakan benda wajib yang harus ada, walau kadang menyebabkan pasar tradisional dan pedagang kecil tergusur.

Margo City: Koridor Pedestrian

Pembangunan Margo City menuai kritik tidak hanya karena persaingan peretail raksasa versus pasar tradisional, tetapi Mall ini didirikan di situs bersejarah kota Depok yaitu Rumah Tua Pondok Cina. Rumah Tua tersebut telah berdiri sejak abad ke-19 dan menjadi bukti suatu episode sejarah yang dilalui oleh kota Depok. Masih untung pembangunan Mall ini menyisakan sebagian bangunan, yaitu bagian Serambi Depan Rumah Tua itu, yang sekarang dijadikan bangunan komersial sebagai cafe dengan nama "the Old House Cafe".


Terlepas dari dosa yang dibuat Margo City, menyebabkan rusaknya keutuhan situs sejarah Depok, ada hal positif yang patut dicatat. Pertama tentu saja masih dipertahankannya bangunan bersejarah (walau hanya sebagian) dan penyediaan panel informasi tentang bangunan bersejarah Rumah Tua Pondok Cina serta panel lainnya tentang Sejarah Depok Lama dan Peninggalan Sejarahnya. Panel tersebut menempati panel reklame outdoor yang berjejer di koridor untuk pejalan kaki (pedestrian).


Rumah Tua Pondok Cina
Rumah Tua Pondok Cina



Panel Informasi Rumah Tua Pondok Cina
Panel Informasi Rumah Tua Pondok Cina


Panel Informasi Sejarah Depok Lama
Panel Informasi Sejarah Depok Lama

Sebagai blogger, saya sangat terkesan dengan Panel Informasi Sejarah Depok Lama. Informasi yang ditampilkan bersumber dari blognya Hans Soedira yaitu salah satu blogger Kota Depok dengan alamat www.goblogk.blogspot.com. Tentu ini membanggakan kita para blogger.


Saya pikir hal semacam ini bisa ditiru oleh Kota Pekanbaru, menyediakan Panel Informasi di Mall tentang sejarah awal Kota Pekanbaru; informasi sejarah era Payung Sekaki, Senapelan, hingga menjadi Pekanbaru. Mungkin Blogger Pekanbaru bisa menginisiasi hal ini dengan Pengusaha Mall atau Pemerintah Kota, hitung-hitung Kopi Darat, tidak hanya bermain di alam maya.

Selasa, 09 Februari 2010

Segambut: Jejak Perantau Kuantan di Semenanjung

Segambut: Jejak Perantau Kuantan di Semenanjung

Segambut adalah sub-district dan daerah pemilihan parlemen di Kuala Lumpur. Bila menumpang Kereta Komuter melalui rute(laluan) Rawang - Seremban, kita melewati daerah ini.


Seperti yang saya tulis di Kuala Lumpur Di Sini Bandaraya Itu Bermula, bahwa Kuala Lumpur berawal dari dibukanya penambangan timah di kuala sungai Gombak dengan sungai Kelang sekitar 200an tahun silam. Awalnya penambangan ini mempekerjakan buruh upahan dari China, kemudian diikuti dengan rombongan buruh dan peniaga dari Kuantan (Riau), Kampar (Riau), Mandailing (SUMUT)dan Minang (sedangkan perantau Jawa lebih memilih ke Kuala Selangor). Hingga 1836 Kuala Lumpur sudah mulai ramai.


Salah satu penempatan orang Kuantan dari Sumatera ialah di daerah tanah gambut, mereka membuka sawah menanam padi (ini masuk akal karena orang Kuantan memang biasa membuka rawa gambut menjadi sawah), maka terkenal lah daerah itu sebagai Segambut. Jalur awal untuk ke sini, harus melalui Jalan Ipoh , boleh tembus ke Sentul dan Gombak. Dari pinggir bukit Kiara, petani boleh mendapatkan hasil hutan: jering (jengkol), petai, termasuk binatang ayam denak (ayam hutan), tupai bebas melompat dan burung terkukur berlagu-lagu.


Tapi sekarang kampung Segambut telah tergerus kemajuan metropolitan Kuala Lumpur. Banyak penduduk (ahli waris) yang digusur untuk pengembangan kawasan pemukiman modern, mulai dari Kondominium Mont Kiara dan Sri Kiara hingga perumahan kelas menengah Taman Sri Segambut dan Bandar Manjalara. Masih tersisa kampung lama yaitu Kampung Segambut Dalam dan Sungai Penchala. Banyak pihak yang menyayangkan pupusnya kawasan perkampungan asli ini.


Saya menemukan kisah ini ketika blogwalking ke blog SITI ZAINON ISMAIL seorang perupa dari Selangor, Malaysia. Tulisan ini saya ubah suai untuk di publish di sini. Bagi saya ini menarik, karena selama ini yang saya tahu orang Kuantan banyak yang merantau ke Kelang (poi ke Kolang), terutama di awal abad XX masa awal penguasaan Kuantan oleh Kolonial Belanda. Atau mungkin yang dimaksud merantau ke Kelang itu juga termasuk ke Kuala Lumpur sekarang, mengingat Kuala Lumpur juga terletak di tepian sungai Kelang. Bila suatu saat saya ke Kuala Lumpur, ingin sekali singgah ke Segambut, menapaktilasi perantau Kuantan di Semenanjung.

Minggu, 07 Februari 2010

Pulau Bidadari: Private Island yang Kontroversial

Perjalanan selama dua pekan di Nusa Tenggara Timur di awal 2008 berakhir di kota Labuan Bajo, kabupaten Manggarai Barat di ujung barat pulau Flores. Masih ada waktu setengah hari menunggu penerbangan ke Denpasar sebelum balik ke Jakarta. Sebenarnya saya ingin sekali ke pulau Komodo. Tetapi waktu terlalu suntuk. Team Leader kami, dokter hewan senior kelahiran Manggarai menawarkan untuk berkunjung ke Pulau Bidadari, private island di salah-satu pulau di wilayah Taman Nasional Komodo yang menghebohkan karena dikabarkan dibeli warga negara asing.

Tujuan utama ke pulau bidadari adalah melepas rasa penasaran akan pulau yang kontroversial itu, sekadar menikmati pantainya yang putih bersih serta pelayaran di antara pulau-pulau kecil di selat Sape (antara pulau Sumbawa dan Flores). Walau tanpa appointment, kami berharap bisa bertemu dengan EL warga negara Inggris yang menjadi terkenal karena dikabarkan membeli pulau itu.

Pulau Bidadari hanya berjarak sekitar 6 km dari Labuan Bajo kami tempuh selama sekitar 20 menit dengan menyewa boat kayu yang memang biasa melayani wisatawan untuk disewa untuk mengunjungi pulau-pulau di kawasan Taman Nasional Komodo.
Setelah merapat di pantainya yang berpasir putih, dengan jelas terbaca papan peringatan "DILARANG MASUK KAWASAN PRIBADI/ NO ENTRY PRIVATE PROPERTY", terasa kurang bersahabat. Seorang perwakilan dari kami menghubungi pos penjagaan dan meminta satpam untuk mengirim pesan ke EL bahwa kami rombongan dokter hewan dari Labuan Bajo, Kupang, Denpasar dan Jakarta ingin bertemu dengan dirinya. Seperti sudah kami duga, sebagaimana umumnya orang barat yang respect terhadap dokter hewan, EL mengijinkan kami masuk ke pulau itu dan bertemu langsung dengan kami.

Pantai Pulau Bidadari

Dilarang Masuk

Sekitar satu jam kami berbincang dengan EL. Latar belakangnya sebagai ahli biologi dengan kekhususan penyu membuat obrolan kami bisa nyambung. Kami menanyakan tentang kontroversi penjualan pulau Bidadari serta isu pelarangan nelayan menangkap ikan di perairan pulau itu. Dia menegaskan tidak membeli pulau itu dan hanya datang sebagai investor. Dia melarang para nelayan dan penduduk setempat melakukan penangkapan ikan di pulau tersebut karena para nelayan sering merusak terumbu karang yang masih sangat indah di wilayah itu. Menurut dia kelestarian terumbu karang sangat penting untuk dijaga untuk pengembangan wisata under water yang pada akhirnya akan memiliki kontribusi pada perekonomian setempat.

Terlepas dari kebenaran penjelasan EL, yang patut digarisbawahi adalah visinya untuk membangun fasilitas pariwisata di sana. Selama ini turis asing yang berkunjung ke Kawasan Taman Nasional Pulau Komodo banyak yang merupakan penumpang kapal pesiar. Mereka hanya turun untuk menikmati komodo dan diving, selebihnya menginap dan makan di kapal Pesiar yang hampir seluruhnya milik asing. Ini artinya daerah wisata tidak mendapat nilai tambah. Dengan membangun resort seperti pulau Bidadari akan meningkatkan turis yang singgah dan menginap didarat sehingga lebih berkontribusi bagi perekonomian daerah.

Pada akhir perbincangan EL mengantar kami untuk meninjau project pembangunan bungalow yang sedang dalam tahap pengerjaan.

Pembangunan Bungalow

Kredit Foto hurek.blogspot.com

Rabu, 03 Februari 2010

Eksotisme Pulau Sumba

Saya selalu menikmati tugas ke daerah untuk pekerjaan lapangan, karena bisa bekerja sambil mengenali masyarakat dan budaya lokal. Awal 2008 saya ditugaskan kantor ke Pulau Sumba. Saya beruntung punya teman sekelas waktu kuliah di Jogja yang sekaligus menjadi counterpart saya untuk urusan pekerjaan itu. Perfect! Di sela-sela pekerjaan, dia dengan senang hati mengantar saya ke Kampung Merapu, kampung asli orang Sumba. Tidak perlu membayar guide, dia sangat menguasai sejarah dan budaya Sumba.



Rumah adat yang unik dan kubur batu megalitikum

Di kampung asli dapat dijumpai rumah adat Sumba. Atap rumah yang berbahan rumput ilalang kebanyakan menjulang tinggi. Ketinggian atap menunjukkan strata pemiliknya dalam adat. Aturan ini dijaga ketat hingga sekarang. Walaupun orang kaya, tetapi bila stratanya dalam adat rendah, mereka tidak boleh memiliki atap rumah yang menjulang. Uniknya, dapur dalam rumah sumba berada di bagian tengah. Di lingkungan rumah adat terdapat sisa-sisa kebudayaan megalitik yaitu kubur batu yang sudah berusia ratusan atau mungkin ribuan tahun.

Jadwal penerbangan yang aneh

Saya masuk ke Sumba Barat melalui Bandara Tambolaka. Penerbangan dari Bandara Tambolaka ke Bandara maumere di pulau Flores sudah confirmed. Tapi sehari sebelum jadwal, pagi-pagi saya ditelpon pihak airlines bahwa jadwal penerbangan yang sudah saya pesan dibatalkan. Airlines menawarkan untuk terbang hari itu juga dari Bandara Waingapu di Sumba Timur. Untuk itu saya harus melakukan perjalanan darat melintasi Pulau Sumba selama sekitar empat jam mengejar penerbangan pukul 14.00. Keanehan jadwal penerbangan ternyata masih berlanjut. Karena alasan teknis ternyata pilot tidak mengarahkan pesawat ke Bandara Maumere, tetapi dialihkan ke Bandara Eltari Kupang di pulau Timor dan para penumpang diinapkan semalam di hotel di kota Kupang. Baru keesokan harinya para penumpang tujuan Maumere di terbangkan. Jadwal penerbangan yang saya pesan adalah Tambolaka – Maumere (direct) tetapi kenyataannya menjadi Tambolaka – (via darat) Waingapu – Kupang – Maumere. What a terrible flight schedule! Tapi tidak rugi juga karena bisa menikmati pemandangan alam Sumba, terutama sabana yang membentang luas.





Kredit foto http://sumbaisland.com/
(Dokumentasi selama perjalanan di Sumba hilang gara-gara disimpan di bagasi)

Senin, 01 Februari 2010

Mekong Fish

Satu hal yang membuat saya terkesan dengan Luang Prabang, kota kuno di tepi sungai Mekong, Laos - adalah ikan sungai (fresh water fish). Di pasar tradisional sangat mudah mendapatkan pedagang yang menjual ikan sungai segar. Di tepi jalan, pedagang kaki lima banyak menjajakan ikan bakar air tawar. Di restoran dan hotel, menu makanan berbahan ikan air tawar selalu tersedia. Luang Prabang adalah surga bagi pencinta masakan ikan air tawar. Sementara itu, tidak seperti negara ASEAN lainnya, seafood adalah barang yang sangat mahal karena negara ini tidak memiliki laut.

Bila di Pekanbaru ada rumah makan/ restoran yang di label dengan jenis ikan tertentu misalnya Pondok Patin atau Pondok Baung, tidak demikian dengan Luang Prabang. Di sana mereka lebih suka melabel dengan Mekong Fish Restaurant saja. Demikian juga dengan daftar menu, kita akan menemukan nama makanan seperti ini: Fried Mekong Fish, Steamed Mekong Fish, Grilled Mekong fish...apa pun makanannya mekong fish namanya (seperti iklan teh...).

Kebanyakan ikan yang ada sangat mirip dengan ikan-ikan air tawar di Riau dan Sumatera umumnya, ada yang mirip patin, belida, kepiat. Saya penasaran untuk mengetahui nama-nama ikan itu dalam bahasa lokal. Herannya, setiap saya bertanya dan untuk ikan jenis apa saja, jawabannya selalu "mekong fish!"....

Saya :"What type of fish is that?"
Mereka: "Mekong fish!"

Sungai Mekong

"Mekong Fish" segar

Ikan Bakar Kaki Lima

Karena ikan air tawar di Luang Prabang sangat melimpah, kadang saya curiga apa benar semuanya ditangkap dari Sungai Mekong? Sepertinya sebagian adalah hasil budidaya di kolam. Walaupun dipelihara di kolam, namanya tetap Mekong Fish...

Jumat, 29 Januari 2010

Menemukan "Kuala Lumpur"



Menara Kembar Petronas mungkin menjadi daya tarik utama bagi pengunjung Kuala Lumpur. Tidak banyak orang yang tertarik untuk mengetahui asal muasal nama Kuala Lumpur. Bagi saya yang dibesarkan di daerah aliran sungai Kuantan, Sumatera - sangat familiar dengan nama-nama tanjung, teluk dan kuala. Saya yakin nama Kuala Lumpur pastilah berhubungan dengan "kuala" atau pertemuan anak sungai dengan sungai yang lebih besar. Dimana kuala itu berada? Dari hasil pencarian, baca sana-sini, saya menemukan bahwa Sungai Gombak merupakan sebatang sungai yang mengalir melalui Selangor dan Kuala Lumpur di Malaysia. Ia merupakan anak Sungai Kelang. Tempat di mana ia bertemu dengan Sungai Kelang (dalam bahasa melayu di sebut kuala) merupakan asal nama Kuala Lumpur.

Pertemuan Sungai Kelang dan Sungai Gombak berada di belakang Sultan Abdul Samad Building. Di sinilah kegiatan pertambangan biji timah bermula di Kuala Lumpur, yang menjadi titik awal pertumbuhan kota ini.

Selain Sultan Abdul Samad Building, cukup banyak landmark kota Kuala Lumpur di sekitarnya, seperti Masjid Jamek Kuala Lumpur, Stesen Kereta api Tanah Melayu (KTM)dan cukup dekat juga dengan Central Market serta Litle India (Jalan Tun Sambanthan). Bagi saya, kawasan titik awal kota Kuala Lumpur ini merupakan bagian yang terpenting untuk dikunjungi bila melancong ke sana.

Senin, 25 Januari 2010

Tumbuhan Liar di Belakang Rumah

Hanyalah tumbuhan liar di semak-semak belakang rumah di Batu Gajah, nun jauh di sana di perut pulau Sumatera. Semasa kecil, memetik dan memakan buah karamunting, keduduk dan nasi-nasi di pinggir rimba adalah salah satu kegiatan mengasikkan bersama teman-teman sepermainan di kampung. Setelah hidup di tengah hutan beton seperti Jakarta, kenangan itu menjadi daya tarik untuk pulang ke kampung halaman.

Saat ini mungkin tumbuhan seperti ini sudah mulai langka. Mungkin dianggap tidak bernilai ekonomi, atau malah dianggap sebagai gulma pesaing hara di kebun kelapa sawit atau getah. Sayang sekali tumbuhan seperti ini harus punah. Banyak tumbuhan kita yang belum dieksplorasi secara optimal. Mungkin saja tanaman-tanaman itu mengandung senyawa obat yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan kemanusiaan dan pengembangan industri hayati yang bernilai ekonomi tinggi.

Tumbuhan khas tropis seperti ini mungkin juga menjadi obyek yang menarik bagi pelancong pencinta alam dari mancanegara terutama dari negara-negara non tropis. Mungkin sama seperti orang Indonesia ingin melihat bunga sakura bermekaran di Jepang.

*****

Karamunting( Rhodomyrtus tomentosa W. Ait.), Bunga

Karamunting, Buah

Nasi-nasi (Symplocos fasciculate)

Keduduk (Melastoma malabathricum), Bunga

Keduduk, Buah

Catatan: gambar ilustrasi bersumber dari http://www.flickr.com

Jalur Koleksi Anjungan Riau TMII

Pacu Jalur merupakan salah satu tradisi di Kabupaten Kuantan Singingi. Pacu Jalur adalah sejenis lomba dayung yang menggunakan Jalur, sejenis perahu yang berukuran sangat panjang. Seperti yang ditulis di Pacu Jalur Khasanah Budaya Kuantan Singingi, jalur dibuat dari batang kayu utuh tanpa sambungan dengan panjang jalur antara 25--30 meter, dengan lebar pada bagian lambung tengah 1,25 - 1,5 meter.

Tempat terbaik untuk menyaksikan Jalur tentu saja di Kabupaten Kuantan Singingi tempat Jalur ini berasal, terutama saat penyelenggaraan Pacu Jalur, festival tahunan dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan RI. Bagi blogger yang belum berkesempatan mengunjungi Kabupaten Kuantan Singingi, dapat menyaksikan keunikan Jalur di Anjungan Riau di Taman Mini Indonesia Indah. Berikut ini gambar Jalur koleksi TMII:

Rumah Jalur, tempat menyimpan Jalur.

Haluan, detail talingo (telinga)dan nama Jalur


Selembayung, pada bagian kemudi


Minim Informasi
Seperti kebanyakan koleksi TMII, koleksi Jalur ini juga sangat minim informasi. Koleksi ini hanya menjadi seonggok benda bisu yang tak dapat bercerita tentang dirinya. Saya menyaksikan sendiri pelancong Malaysia yang sepertinya tertarik dengan Jalur yang unik, tapi mereka bertanya-tanya sesama mereka tanpa tahu harus mencari informasi ke mana.

Alangkah baiknya bila Pemerintah Provinsi Riau atau Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi mengadakan panel informasi yang menceritakan tentang Jalur dan Tradisi Pacu Jalur. Saat berkunjung pada Liburan tahun baru 1 Januari 2010, kami malah disuguhi Orkes Dangdut. Saya sama sekali tak paham, apa hubungan Orkes Dangdut dengan promosi Budaya & Pariwisata Riau. Menurut saya, lebih baik dana untuk nanggap Orkes Dangdut itu dimanfaatkan untuk (misalnya) mengadakan panel informasi.

Jumat, 15 Januari 2010

Gulai Cipuik

Pertama kali mengunjungi Ha Noi akhir tahun 2007, bersama teman-teman peserta workshop dari negara-negara ASEAN kami dijamu makan malam di Restoran Vietnam oleh panitia. Menu yang paling berkesan bagi saya adalah Vietnamese Escargot. Masakan ini berbahan baku daging siput cincang yang dicampur bumbu dan dibungkus dengan sehelai kecil daun beraroma (saya sudah agak lupa, mungkin serai wangi), kemudian disumbatkan kembali ke cangkangnya dan dikukus. Saya pikir cara pengolahan seperti itu membuat aroma siput tertutupi tetapi rasanya tetap original.

Siput yang digunakan di Vietnam berukuran lebih besar dari siput sawah tapi lebih kecil dari keong emas (seukuran sekitar 3 butir kelereng) dan berwarna hitam kecoklatan.

Escargot [baca ɛskaʁɡo], merupakan bahasa Perancis untuk siput, juga untuk menyebut masakan Perancis yang terbuat dari siput. Mengingat Vietnam pernah menjadi jajahan Perancis, saya menduga Vietnamese Escargot merupakan adaptasi Escargot a la Perancis dengan menggunakan siput dan bumbu lokal Vietnam.

Vietnamese Escargot

Menjadi menu restoran dan hotel berbintang...

...juga dijajakan di kaki lima

Menikmati Vietnamese Escargot di Ha Noi, membuat saya bermimpi Gulai Siput Kuantan 'made in' kampung saya menjadi menu Hotel dan Restoran atau setidaknya di Rumah Makan di kota kecil Teluk Kuantan. Mungkin orang Eropa akan menyebutnya Kuantanese Escargot??? Gulai Cipuik juga keren kok.

Gulai Siput Kuantan

Gulai cipuik a.k.a gulai siput Kuantan Siput dibuat dari siput sawah.Ukurannya kira-kira seukuran biji kelereng hingga lebih besar sedikit dari kelereng. Di Kabupaten Kuantan Singingi siput biasanya ditangkap di sawah pada musim kering atau saat curah hujan tidak terlalu tinggi. Pada puncak musim hujan saat sawah tergenang banyak air agak sulit untuk menangkap siput. Siput segar (umumnya dalam keadaan masih hidup) bisa ditemukan di pasar tradisional di Kabupaten Kuantan Singingi, dijajakan oleh ibu-ibu di emperan pasar.

Siput dimasak dengan kuah berbumbu pedas ‘sedang’ dan santan yang tidak terlalu kental. Biasanya siput dimasak bersama salah satu sayur pelengkap (dalam bahasa lokal disebut rampai) seperti kacang panjang, pucuk daun keladi, terung asam, atau pakis (paku). Rasanya? kenyal dan seru. Seru, karena untuk memakannya perlu usaha ekstra. Daging siput disedot (di-slurup) hingga terlepas dari cangkang. Bila makan bersama, suara sedotan membuat suasana makan menjadi ramai oleh suara sedotan yang bersahutan. Agar mudah disedot bagian belakang cangkang dilubangi terlebih dahulu sebelum dimasak.

Bagi kawan blogger yang ingin mencoba makanan ini, saya rekomendasikan untuk tidak mencarinya di rumah makan, setahu saya makanan yang satu ini belum menjadi menu rumah makan. Makanan ini hanyalah menu rumahan keluarga Kuantan. Untuk menikmatinya kita harus mengunjungi keluarga Kuantan. Bila berkunjung ke Kabupaten Kuantan Singingi, anda bisa kontak kawan blogger dari Kuansing Blogger Community, mereka akan dengan senang hati menjamu anda dengan gulai siput.

A River Cruise Along the Chao Phraya River

Ketika melakukan perjalanan ke luar negeri, sungai merupakan top list yang harus saya kunjungi, walaupun harus mencari waktu disela-sela pekerjaan.

Chao Phraya merupakan bagian Thailand yang paling menarik bagi saya. Thailand yang sedang giat membangun, tetap menjaga Chao Phraya sebagai identitas dan sejarah bangsa Thai. Chao Phraya tetap menjadi urat nadi transportasi publik, transportasi barang dan menjadi obyek wisata. Lalu lintasnya cukup ramai, namun teratur.

Menyusuri Chao Phraya merupakan bagian dari paket wisata kota kuno Ayutthaya. Atau sekedar menikmati makan malam di restoran terapung sambil menikmati suasana malam Kota Bangkok secara lebih beradab (bagi yang suka dengan night life yang 'liar' tentu ini bukan pilihan yang tepat).

Menyusuri Chao Phraya dengan Grand Pearl Cruise, membuat saya merindukan Kuantan (Indragiri), Kampar, Siak dan Rokan yang merupakan sungai utama di Provinsi Riau. Perjalanan itu membuat saya bermimpi sungai-sungai di kampung halaman bisa dikembangkan lebih maksimal, sebagai pendukung ekonomi rakyat, melestarikan sejarah dan identitas riverine culture yang telah diwariskan oleh leluhur. Tak ada salahnya belajar dari bangsa lain

Bus Air, Moda Transportasi Publik di Bangkok


Budhist Temple yang indah banyak menghiasi tepian Chao Phraya


Masjid pun ikut mewarnai


Kampung tradisional tetap bertahan, tapi kebersihan dijaga


Dermaga Kapal Wisata (Cruise)


Makan siang di Cruise