Rabu, 02 Desember 2009

Dipalak preman Durban

Di Jakarta saya belum pernah (mudah-mudahan nggak akan pernah) di todong, dipalak, dicopet atau dijambret. Kalau dicopet pernah sekali di Jogja, waktu nonton Grebeg Maulud – itu pun karena saking bengongnya meperhatikan dosen saya yang ikut parade prajurit keraton sampai tidak sadar ada yang ngambil dompet. Gimana tidak bengong, kaget banget melihat dosen UGM kok nyambi jadi prajurit kraton. Pernah juga berurusan dengan para pencopet Jogja, gara-gara membantu seorang mahasiswi yang jadi target copet di Bus Kota (KOPATA) jalur 2 yang lagi lewat kawasan Malioboro. Nasib baik waktu itu saya tidak diapa-apain sama gerombolan copet gara-gara mereka berlima (orang Sumatera semua) tau kalau saya budak Sumatera…hehehe solidaritas Jong Sumatranen Bond. Malah dinasehati oleh para copet….”kamu kesini dikirim orang tuamu untuk belajar, jangan malah nangkap copet… nanti tidak bawa pulang gelar sarjana malah dapat gelar almarhum….” ….”Iya lah Bang!”

Pengalaman dipalak justru jauh di Durban, Afrika Selatan. Bagi anda pencinta bola pasti tau Durban adalah kota tempat penyelenggaraan FIFA World Club tahun depan. Saya melakukan perjalanan ke Durban Agustus 2009, untuk mempresentasikan paper saya di symposium internasional di bidang epidemiologi veteriner.

Sebenarnya organizer sudah wanti-wanti kepada peserta untuk tidak berjalan kaki sendirian di Durban. Tiba di hotel, salah satu dari daftar pesan yang dibuat oleh organizer dan diteruskan oleh front office hotel ke peserta adalah: “ As South Africa is a developing country, crime does exist, so we would advise you to take a few basic precautions bla bla bla Public transport is available in South Africa so there is no need to hitch-hike bla bla bla…” Kota apa ini? Kok jalan kaki di tengah kota saja tidak aman? Ini mah lebih parah dari Pasar Senen! Inikah kota penyelenggara World Cup 2010?

Hari pertama, masalah timbul. Laptop low-bat. Charger batere Laptop tidak cocok dengan stop kontak di sana. Socket adaptor yang saya bawa juga tidak membantu. Adaptor yang disediakan hotel tempat saya menginap, juga tidak ada yang cocok. Sementara power point untuk oral presentation belum jadi….ini memang penyakit kronis, kalau belum deadline otak saya belum bisa efektif bekerja, selalu pakai jurus last minute. Saya tanya ke Security Durban Convention Centre, dimana saya bisa membeli socket adaptor? Mereka bilang di Workshop Shopping Centre, Cuma sekitar 250an meter dari convention centre. Tapi mereka tidak merekomendasikan saya untuk berjalan kaki sendirian ke sana. Taxi? Nggak banget, cuma 250m kok naik taxi. Saya nekad saja jalan kaki sendiri

Hampir saja sampai shopping centre, saya didekati oleh preman, dia minta uang…money!..money!… dengan gerakan mengancam bahkan tangannya berusaha merebut dompet dari kantong celana saya. Saya ingat pesan dari organizer: Should you be confronted by an armed individual - immediately comply, avoid making sudden movements, and do not offer any form of resistance. Any hesitation on your part could be perceived as a threat and may result in unnecessary violence….Kali ini saya sadar, saya tidak berhadapan dengan tukang palak Sumatera. Saya berusaha tenang (sambil komat-kamit berdoa)….dan untung saja ada security pusat perbelanjaan yang melihat dari kejauhan dan datang membantu saya. Yang malak saya langsung ngibrit. Alhamdulillah…..

Jengkel juga dengan Durban. Tapi saya harus mengapresiasi organizer, termasuk pihak keamanan convention centre yang dengan detail memberikan petunjuk keamanan kepada tamu asing. Saya ingat kejadian Desember 2004, ketika bertugas sebagai organizer suatu Meeting di Denpasar, harus menanggung malu, karena tamu kami dari Malaysia kehilangan sepatu di Masjid saat shalat Jum’at. Kami memergoki si tamu berjalan nyeker pulang dari Masjid ke hotel… ”kasut saya dicuri orang!”. Padahal itu tidak akan terjadi kalau organizer mengingatkan peserta untuk memakai sandal jepit ke Masjid.
Durban International Convention Centre

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mau dipalak aja harus ke Durban :-(