Kamis, 25 Desember 2014

Exploring Tiananmen Square & Forbidden City in Beijing

APEC 2014 di Beijing baru saja usai. Saya harus meyakinkan anda bahwa saya tidak termasuk dalam delegasi Indonesia ke APEC yang dipimpin Presiden Jokowi. Saya berangkat ke Beijing sendiri - demi merah putih juga, di forum tingkat Asia dan Pasifik juga, tapi untuk mendiskusikan penyakit hewan - suatu topik yang sama sekali tidak menarik bagi media mainstream di Indonesia. Untuk itu lah jurnalisme warga ini hadir :))

Kepada penyelenggara pertemuan, saya memang meminta penerbangan dengan GA karena beberapa alasan. Pertama, panggilan jiwa nasionalisme bahwa GA adalah national flag airline. Kedua, mendapatkan mileage yang lumayan besar untuk GFF saya. Ketiga, penerbangan langsung lebih nyaman, tidak perlu transit. Dan keempat, mendarat di Beijing minggu pagi - berarti saya punya waktu seharian untuk jalan-jalan di Beijing sebelum workshop di mulai senin pagi. Saya sudah berencana mengunjungi Tiananmen Square dan Forbidden City.

Setelah check in di Hotel (alhamdulillah boleh check in lebih awal tanpa biaya tambahan), mandi dan menyeruput teh hangat yang diseduh sendiri di kamar, saya bergegas ke stasiun Renmin University. Dengan tiket seharga 2 Yuan saya menumpang kereta subway jalur 4 dan kemudian di stasiun Xidan beralih ke jalur 1 dan berhenti di stasiun Tiananmen East. Mungkin karena berada di kawasan strategis, ketika keluar stasiun Tiananmen East semua penumpang harus melalui pemeriksaan ID/ passport dan melewati pemindai benda logam. Ketika memasuki Tiananmen Square, semua pengunjung juga harus melalui pemindai benda logam. Lumayan banyak waktu terpakai untuk antri keluar stasiun dan masuk ke Tiananmen Square.

Tiananmen Square adalah alun-alun kota. Nama Tiananmen diambil dari nama gerbang yang membatasi alun-alun ini dengan istana Forbidden City di sebelah utaranya. Mirip dengan konsep alun-alun dalam tata ruang keraton Jawa. Alun-alun ini menjadi terkenal ke seluruh dunia karena peristiwa penembakan ratusan (mungkin ribuan) demonstran pro demokrasi pada tahun 1989. Saya akan masuk SMA ketika peristiwa itu terjadi.



Forbidden City adalah istana kekaisaran Tiongkok sejak dinasti Ming hingga berakhir pada dinasti Qing, sebagai kediaman kaisar dan keluarga, tempat upacara dan pusat pemerintahan Tiongkok selama hampir 500 tahun. Istana ini dibangun pada tahun 1406 hingga 1420, terdiri dari 980 bangunan pada lahan seluas 72 ha. Sejak 1925, Forbidden City beralih fungsi menjadi museum setelah kaisar tidak lagi berkuasa dan terbentuknya pemerintahan Republik. Pertama kali saya membaca tentang Forbidden City di majalah milik kakak. Tak disangka saya dapat menginjakkan kaki di sini, 25 tahun kemudian.

Untuk masuk ke Forbidden City, pengunjung harus membeli tiket seharga 40 Yuan. Setelah membeli tiket, saya masuk melalui Meridian Gate, gerbang depan atau gerbang utama Forbidden City.







Wisatawan bisa mengunjungi hampir semua bagian istana ini, namun karena sangat luas - dan masih jetlag pula, saya hanya sempat mengunjungi setengah saja dari museum ini.Saya mengakhiri kunjungan di Forbidden City dan keluar melalui East Glorious Gate.



Setelah keluar dari gerbang timur, kita dapat melihat pemandangan parit yang mengelilingi istana sebagai pertahanan - selain tembok benteng.

Tidak ada komentar: