Kamis, 25 Desember 2014

Assalamu'alaikum Beijing (1)

Ketika memberi judul posting ini, saya terinspirasi dari novel (dan film) karya Asma Nadia berjudul Assalamu'alaikum Beijing. Walaupun saya belum membaca novel itu, juga belum menonton filmnya, tapi saya suka dengan judul "Assalamu'alaikum Beijing".

Masjid, makanan halal, dan keseharian kaum Tionghoa Muslim adalah salah satu hal yang ingin saya eksplorasi selama di Beijing. Sebelum berangkat saya googling dengan kata kunci 'masjid bersejarah beijing' dan 'masjid tertua beijing'. Dari informasi yang saya kumpulkan dari browsing internet, saya menemukan Masjid Niujie adalah masjid tertua di Beijing dan menarik untuk dikunjungi. Masjid ini pertama kali dibangun pada tahun 996 pada masa Dinasti Liao, lebih tua dari Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1401.

Kamis 20 November 2014, setelah rangkaian workshop yang saya ikuti selama di Beijing ditutup secara resmi pada tengah hari waktu setempat - saya bergegas menuju stasiun kereta subway terdekat yaitu Stasiun Renmin University. Dari google Maps saya dapatkan informasi bahwa stasiun terdekat dengan Masjid Niujie adalah Stasiun Caishikou. Perjalanan dengan kereta subway jalur 4 ditempuh dalam 47 menit dengan ongkos hanya 2 Yuan sekali jalan, kemudian dilanjutkan berjalan kaki dari stasiun Caishikou ke masjid menembus dinginnya penghujung musim gugur sekitar 1,3 KM selama 15 menit.


Seperti digambarkan di beberapa laman web, Masjid Niujie berarsitektur tradisional Tiongkok. Bila saja tidak mengumpulkan informasi sebelumnya, akan sulit menemukan masjid ini. Perlu lebih teliti untuk menemukan tulisan kecil مسجد berdampingan dengan tulisan dalam aksara Tionghoa 牛街礼拜寺 di pintu gerbang masjid.



Setelah mengucap Assalamu'alaikum kepada petugas penjaga di gerbang masjid, saya menanyakan apakah saya harus membeli tiket. Saya merasa perlu menanyakan hal ini karena saya membaca di beberapa informasi wisata bahwa masjid ini terbuka untuk wisatawan dan pengunjung dikenai biaya tiket masuk sebesar 10 Yuan/ orang. Dengan ramah petugas penjaga menanyakan apakah saya muslim, dan dia menambahkan bahwa muslim yang datang untuk shalat tidak perlu membayar tiket masuk - namun dihimbau untuk memberikan infaq di kotak infaq yang tersedia. Di dekat gerbang, terpampang denah kompleks masjid dan waktu shalat.


Bagian utama dari kompleks masjid ini tentu saja ruang shalat (untuk pria, karena ruang shalat wanita terpisah pada bangunan lain). Arsitektur dan ornamen interior sangat kental bernuansa Tionghoa, dan menurut saya itu lah daya tarik masjid ini - disamping tentu saja nilai sejarahnya.



Di kompleks masjid terdapat menara berarsitektur Tionghoa, tempat azan dikumandangkan. Ada juga bangunan khusus untuk ruang shalat wanita, ruang berwudhu, asrama imam, dan ruang kuliah. Di kompleks masjid ini dipajang beberapa benda bersejarah seperti pilar penopang masjid pada zaman dahulu yang terbuat dari batu. Pilar itu semacam batu prasasti, berukir tulisan dalam aksara Tionghoa dan aksara Arab. Namun tulisan beraksara Arab sudah rusak dan tidak dapat dibaca, tampaknya pernah ada upaya pihak tertentu untuk menghapusnya. Kancah/ kuali besar/ kawah berbahan perunggu juga dipajang di halaman masjid, konon pada zaman dahulu digunakan memasak bubur untuk hidangan berbuka puasa jamaah pada bulan Ramadhan. Sementara itu di halaman belakang, terdapat 2 makam imam masjid dari masa Dinasti Yuan.





Sayangnya saya tidak mengikuti shalat berjamaah karena saya datang setelah shalat ashr berjamaah usai, dan saya tidak dapat menunggu shalat maghrib karena harus segera kembali ke hotel untuk selanjutnya menuju bandara dan kembali ke tanah air. Dari foto-foto yang dipajang di majalah dinding masjid, saya bisa membayangkan suasana masjid ini saat dipenuhi jamaah.

Tidak ada komentar: