Think about the generations and they say:
We want to make it a better place
For our children
And our children's children
They are the future. They can heal the world.
Indonesia pernah memimpin Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung.
Peristiwa yang monumental, mengilhami negara-negara di Asia-Afrika untuk berubah - mempercepat dekolonisasinya dari ikatan kolonialisme.
Konferensi Asia Afrika juga mencetuskan suatu pandangan mendasar yang digunakan untuk meredakan perang dingin kala itu, pandangan non-konfrontatif.
Saya hanya mengantar dua orang anak Indonesia ke Museum Konferensi Asia Afrika di penghujung tahun 2014, agar mereka bangga menjadi anak Indonesia, agar terinspirasi berkontribusi untuk dunia yang lebih baik, seperti semangat "Dasa Sila Bandung".
Senin, 29 Desember 2014
Scenic View of Parahyangan Seen from Argo Parahyangan Train Window
Salah satu rencana yang ingin saya laksanakan sebelum tahun 2014 berakhir adalah traveling ke Bandung menumpang kereta api bersama anak-anak. Saya amat terkesan dengan pemandangan alam Jawa Barat atau Parahyangan yang indah sepanjang rute kereta api Jakarta - Bandung pada perjalanan saya dengan Kereta Api Parahyangan pada tahun 2008 silam. Itu adalah perjalanan saya pertama dan satu-satunya menumpang kereta api pada rute tersebut. Selain pemandangan alam yang indah, sensasi yang dirasakan saat melewati Terowongan Sasaksaat sepanjang hampir 1 kilometer dan Jembatan Cikubang sepanjang 300 meter di ketinggian 80 meter juga merupakan pengalaman yang sangat berkesan. Saya ingin mengulangnya dan berbagi pengalaman itu dengan anak-anak saya.
27 Desember 2014 pagi, setelah membeli tiket kereta jauh-jauh hari dengan reservasi online, membayar melalui ATM dan mencetak tiket mandiri akhirnya saya bisa menikmati perjalanan ini bersama anak-anak. Kereta Api Parahyangan memang telah tiada dan digantikan oleh Kereta Api Argo Parahyangan, tetapi indahnya Pemandangan masih belum berubah. Saya dan anak-anak amat menikmati perjalanan sekitar 3 jam rute Jakarta - Bandung ini.
Bila panjang umur dan ada rezeki, saya ingin mengunjungi kota-kota lain di Jawa dengan kereta api bersama anak-anak.
27 Desember 2014 pagi, setelah membeli tiket kereta jauh-jauh hari dengan reservasi online, membayar melalui ATM dan mencetak tiket mandiri akhirnya saya bisa menikmati perjalanan ini bersama anak-anak. Kereta Api Parahyangan memang telah tiada dan digantikan oleh Kereta Api Argo Parahyangan, tetapi indahnya Pemandangan masih belum berubah. Saya dan anak-anak amat menikmati perjalanan sekitar 3 jam rute Jakarta - Bandung ini.
Bila panjang umur dan ada rezeki, saya ingin mengunjungi kota-kota lain di Jawa dengan kereta api bersama anak-anak.
Jumat, 26 Desember 2014
Enrekang: Nice Place, Nice People, Nice Food,
Enrekang, satu di antara kabupaten di Sulawesi Selatan, ditempuh sekitar enam jam perjalanan darat ke utara dari Makassar. Daerah ini menyajikan pemandangan yang indah dengan kontur berbukit, salah satunya adalah Gunung Nona. Dalam bahasa setempat Gunung Nona disebut Butu Kabobong, yang berarti Gunung Vagina. Gunung ini memang tampak seperti kelamin wanita. Hanya saja, karena berdekatan dengan Tana Toraja, banyak orang yang salah kaprah Gunung Nona adalah bagian dari Tana Toraja. Anyway, Nice Place!
Kunjungan saya ke Enrekang pada bulan November 2014 adalah dalam rangka Pelatihan Investigasi Penyakit Hewan untuk paramedik veteriner di kabupaten ini. Sambutan teman-teman di Enrekang sungguh mencengangkan. Kegiatan pelatihan ini dibuka langsung oleh Bupati, suatu hal yang sangat langka Bupati berkenan menghadiri dan memberi arahan untuk kegiatan selevel ini. Dokter hewan kabupaten sebagai trainer utama mengajarkan modul ini dengan baik, didukung oleh dokter hewan dari kabupaten lain. Para peserta, yaitu paramedik veteriner mengikuti pelatihan ini dengan sangat antusias. Kegiatan pelatihan ditutup oleh Kepala Dinas. Ini lah kunjungan ke kabupaten yang sangat berkesan bagi saya. Semua orang antusias dan optimistis. Nice People!
Pada suatu malam, saya mencoba salah satu makanan khas Enrekang yaitu Nasu cemba. Nasu Cemba semacam sop daging sapi yang dimasak dengan menggunakan bahan yang khas yaitu daun cemba. Sekilas tampak seperti Sop Saudara khas Makassar. Agak mirip Rawon juga tampilannya. Tetapi rasanya sangat khas, rasa yang ditimbulkan oleh Cemba. Ditambah sambal rawit dan perasan jeruk nipis lebih enak. Nice Food!
Kopinya juga enak, walau beberapa warung mengklaim sebagai kopi toraja.
Kunjungan saya ke Enrekang pada bulan November 2014 adalah dalam rangka Pelatihan Investigasi Penyakit Hewan untuk paramedik veteriner di kabupaten ini. Sambutan teman-teman di Enrekang sungguh mencengangkan. Kegiatan pelatihan ini dibuka langsung oleh Bupati, suatu hal yang sangat langka Bupati berkenan menghadiri dan memberi arahan untuk kegiatan selevel ini. Dokter hewan kabupaten sebagai trainer utama mengajarkan modul ini dengan baik, didukung oleh dokter hewan dari kabupaten lain. Para peserta, yaitu paramedik veteriner mengikuti pelatihan ini dengan sangat antusias. Kegiatan pelatihan ditutup oleh Kepala Dinas. Ini lah kunjungan ke kabupaten yang sangat berkesan bagi saya. Semua orang antusias dan optimistis. Nice People!
Pada suatu malam, saya mencoba salah satu makanan khas Enrekang yaitu Nasu cemba. Nasu Cemba semacam sop daging sapi yang dimasak dengan menggunakan bahan yang khas yaitu daun cemba. Sekilas tampak seperti Sop Saudara khas Makassar. Agak mirip Rawon juga tampilannya. Tetapi rasanya sangat khas, rasa yang ditimbulkan oleh Cemba. Ditambah sambal rawit dan perasan jeruk nipis lebih enak. Nice Food!
Kopinya juga enak, walau beberapa warung mengklaim sebagai kopi toraja.
Kamis, 25 Desember 2014
Exploring Tiananmen Square & Forbidden City in Beijing
APEC 2014 di Beijing baru saja usai. Saya harus meyakinkan anda bahwa saya tidak termasuk dalam delegasi Indonesia ke APEC yang dipimpin Presiden Jokowi. Saya berangkat ke Beijing sendiri - demi merah putih juga, di forum tingkat Asia dan Pasifik juga, tapi untuk mendiskusikan penyakit hewan - suatu topik yang sama sekali tidak menarik bagi media mainstream di Indonesia. Untuk itu lah jurnalisme warga ini hadir :))
Kepada penyelenggara pertemuan, saya memang meminta penerbangan dengan GA karena beberapa alasan. Pertama, panggilan jiwa nasionalisme bahwa GA adalah national flag airline. Kedua, mendapatkan mileage yang lumayan besar untuk GFF saya. Ketiga, penerbangan langsung lebih nyaman, tidak perlu transit. Dan keempat, mendarat di Beijing minggu pagi - berarti saya punya waktu seharian untuk jalan-jalan di Beijing sebelum workshop di mulai senin pagi. Saya sudah berencana mengunjungi Tiananmen Square dan Forbidden City.
Setelah check in di Hotel (alhamdulillah boleh check in lebih awal tanpa biaya tambahan), mandi dan menyeruput teh hangat yang diseduh sendiri di kamar, saya bergegas ke stasiun Renmin University. Dengan tiket seharga 2 Yuan saya menumpang kereta subway jalur 4 dan kemudian di stasiun Xidan beralih ke jalur 1 dan berhenti di stasiun Tiananmen East. Mungkin karena berada di kawasan strategis, ketika keluar stasiun Tiananmen East semua penumpang harus melalui pemeriksaan ID/ passport dan melewati pemindai benda logam. Ketika memasuki Tiananmen Square, semua pengunjung juga harus melalui pemindai benda logam. Lumayan banyak waktu terpakai untuk antri keluar stasiun dan masuk ke Tiananmen Square.
Tiananmen Square adalah alun-alun kota. Nama Tiananmen diambil dari nama gerbang yang membatasi alun-alun ini dengan istana Forbidden City di sebelah utaranya. Mirip dengan konsep alun-alun dalam tata ruang keraton Jawa. Alun-alun ini menjadi terkenal ke seluruh dunia karena peristiwa penembakan ratusan (mungkin ribuan) demonstran pro demokrasi pada tahun 1989. Saya akan masuk SMA ketika peristiwa itu terjadi.
Forbidden City adalah istana kekaisaran Tiongkok sejak dinasti Ming hingga berakhir pada dinasti Qing, sebagai kediaman kaisar dan keluarga, tempat upacara dan pusat pemerintahan Tiongkok selama hampir 500 tahun. Istana ini dibangun pada tahun 1406 hingga 1420, terdiri dari 980 bangunan pada lahan seluas 72 ha. Sejak 1925, Forbidden City beralih fungsi menjadi museum setelah kaisar tidak lagi berkuasa dan terbentuknya pemerintahan Republik. Pertama kali saya membaca tentang Forbidden City di majalah milik kakak. Tak disangka saya dapat menginjakkan kaki di sini, 25 tahun kemudian.
Untuk masuk ke Forbidden City, pengunjung harus membeli tiket seharga 40 Yuan. Setelah membeli tiket, saya masuk melalui Meridian Gate, gerbang depan atau gerbang utama Forbidden City.
Wisatawan bisa mengunjungi hampir semua bagian istana ini, namun karena sangat luas - dan masih jetlag pula, saya hanya sempat mengunjungi setengah saja dari museum ini.Saya mengakhiri kunjungan di Forbidden City dan keluar melalui East Glorious Gate.
Setelah keluar dari gerbang timur, kita dapat melihat pemandangan parit yang mengelilingi istana sebagai pertahanan - selain tembok benteng.
Kepada penyelenggara pertemuan, saya memang meminta penerbangan dengan GA karena beberapa alasan. Pertama, panggilan jiwa nasionalisme bahwa GA adalah national flag airline. Kedua, mendapatkan mileage yang lumayan besar untuk GFF saya. Ketiga, penerbangan langsung lebih nyaman, tidak perlu transit. Dan keempat, mendarat di Beijing minggu pagi - berarti saya punya waktu seharian untuk jalan-jalan di Beijing sebelum workshop di mulai senin pagi. Saya sudah berencana mengunjungi Tiananmen Square dan Forbidden City.
Setelah check in di Hotel (alhamdulillah boleh check in lebih awal tanpa biaya tambahan), mandi dan menyeruput teh hangat yang diseduh sendiri di kamar, saya bergegas ke stasiun Renmin University. Dengan tiket seharga 2 Yuan saya menumpang kereta subway jalur 4 dan kemudian di stasiun Xidan beralih ke jalur 1 dan berhenti di stasiun Tiananmen East. Mungkin karena berada di kawasan strategis, ketika keluar stasiun Tiananmen East semua penumpang harus melalui pemeriksaan ID/ passport dan melewati pemindai benda logam. Ketika memasuki Tiananmen Square, semua pengunjung juga harus melalui pemindai benda logam. Lumayan banyak waktu terpakai untuk antri keluar stasiun dan masuk ke Tiananmen Square.
Tiananmen Square adalah alun-alun kota. Nama Tiananmen diambil dari nama gerbang yang membatasi alun-alun ini dengan istana Forbidden City di sebelah utaranya. Mirip dengan konsep alun-alun dalam tata ruang keraton Jawa. Alun-alun ini menjadi terkenal ke seluruh dunia karena peristiwa penembakan ratusan (mungkin ribuan) demonstran pro demokrasi pada tahun 1989. Saya akan masuk SMA ketika peristiwa itu terjadi.
Forbidden City adalah istana kekaisaran Tiongkok sejak dinasti Ming hingga berakhir pada dinasti Qing, sebagai kediaman kaisar dan keluarga, tempat upacara dan pusat pemerintahan Tiongkok selama hampir 500 tahun. Istana ini dibangun pada tahun 1406 hingga 1420, terdiri dari 980 bangunan pada lahan seluas 72 ha. Sejak 1925, Forbidden City beralih fungsi menjadi museum setelah kaisar tidak lagi berkuasa dan terbentuknya pemerintahan Republik. Pertama kali saya membaca tentang Forbidden City di majalah milik kakak. Tak disangka saya dapat menginjakkan kaki di sini, 25 tahun kemudian.
Untuk masuk ke Forbidden City, pengunjung harus membeli tiket seharga 40 Yuan. Setelah membeli tiket, saya masuk melalui Meridian Gate, gerbang depan atau gerbang utama Forbidden City.
Wisatawan bisa mengunjungi hampir semua bagian istana ini, namun karena sangat luas - dan masih jetlag pula, saya hanya sempat mengunjungi setengah saja dari museum ini.Saya mengakhiri kunjungan di Forbidden City dan keluar melalui East Glorious Gate.
Setelah keluar dari gerbang timur, kita dapat melihat pemandangan parit yang mengelilingi istana sebagai pertahanan - selain tembok benteng.
Assalamu'alaikum Beijing (1)
Ketika memberi judul posting ini, saya terinspirasi dari novel (dan film) karya Asma Nadia berjudul Assalamu'alaikum Beijing. Walaupun saya belum membaca novel itu, juga belum menonton filmnya, tapi saya suka dengan judul "Assalamu'alaikum Beijing".
Masjid, makanan halal, dan keseharian kaum Tionghoa Muslim adalah salah satu hal yang ingin saya eksplorasi selama di Beijing. Sebelum berangkat saya googling dengan kata kunci 'masjid bersejarah beijing' dan 'masjid tertua beijing'. Dari informasi yang saya kumpulkan dari browsing internet, saya menemukan Masjid Niujie adalah masjid tertua di Beijing dan menarik untuk dikunjungi. Masjid ini pertama kali dibangun pada tahun 996 pada masa Dinasti Liao, lebih tua dari Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1401.
Kamis 20 November 2014, setelah rangkaian workshop yang saya ikuti selama di Beijing ditutup secara resmi pada tengah hari waktu setempat - saya bergegas menuju stasiun kereta subway terdekat yaitu Stasiun Renmin University. Dari google Maps saya dapatkan informasi bahwa stasiun terdekat dengan Masjid Niujie adalah Stasiun Caishikou. Perjalanan dengan kereta subway jalur 4 ditempuh dalam 47 menit dengan ongkos hanya 2 Yuan sekali jalan, kemudian dilanjutkan berjalan kaki dari stasiun Caishikou ke masjid menembus dinginnya penghujung musim gugur sekitar 1,3 KM selama 15 menit.
Seperti digambarkan di beberapa laman web, Masjid Niujie berarsitektur tradisional Tiongkok. Bila saja tidak mengumpulkan informasi sebelumnya, akan sulit menemukan masjid ini. Perlu lebih teliti untuk menemukan tulisan kecil مسجد berdampingan dengan tulisan dalam aksara Tionghoa 牛街礼拜寺 di pintu gerbang masjid.
Setelah mengucap Assalamu'alaikum kepada petugas penjaga di gerbang masjid, saya menanyakan apakah saya harus membeli tiket. Saya merasa perlu menanyakan hal ini karena saya membaca di beberapa informasi wisata bahwa masjid ini terbuka untuk wisatawan dan pengunjung dikenai biaya tiket masuk sebesar 10 Yuan/ orang. Dengan ramah petugas penjaga menanyakan apakah saya muslim, dan dia menambahkan bahwa muslim yang datang untuk shalat tidak perlu membayar tiket masuk - namun dihimbau untuk memberikan infaq di kotak infaq yang tersedia. Di dekat gerbang, terpampang denah kompleks masjid dan waktu shalat.
Bagian utama dari kompleks masjid ini tentu saja ruang shalat (untuk pria, karena ruang shalat wanita terpisah pada bangunan lain). Arsitektur dan ornamen interior sangat kental bernuansa Tionghoa, dan menurut saya itu lah daya tarik masjid ini - disamping tentu saja nilai sejarahnya.
Di kompleks masjid terdapat menara berarsitektur Tionghoa, tempat azan dikumandangkan. Ada juga bangunan khusus untuk ruang shalat wanita, ruang berwudhu, asrama imam, dan ruang kuliah. Di kompleks masjid ini dipajang beberapa benda bersejarah seperti pilar penopang masjid pada zaman dahulu yang terbuat dari batu. Pilar itu semacam batu prasasti, berukir tulisan dalam aksara Tionghoa dan aksara Arab. Namun tulisan beraksara Arab sudah rusak dan tidak dapat dibaca, tampaknya pernah ada upaya pihak tertentu untuk menghapusnya. Kancah/ kuali besar/ kawah berbahan perunggu juga dipajang di halaman masjid, konon pada zaman dahulu digunakan memasak bubur untuk hidangan berbuka puasa jamaah pada bulan Ramadhan. Sementara itu di halaman belakang, terdapat 2 makam imam masjid dari masa Dinasti Yuan.
Sayangnya saya tidak mengikuti shalat berjamaah karena saya datang setelah shalat ashr berjamaah usai, dan saya tidak dapat menunggu shalat maghrib karena harus segera kembali ke hotel untuk selanjutnya menuju bandara dan kembali ke tanah air. Dari foto-foto yang dipajang di majalah dinding masjid, saya bisa membayangkan suasana masjid ini saat dipenuhi jamaah.
Masjid, makanan halal, dan keseharian kaum Tionghoa Muslim adalah salah satu hal yang ingin saya eksplorasi selama di Beijing. Sebelum berangkat saya googling dengan kata kunci 'masjid bersejarah beijing' dan 'masjid tertua beijing'. Dari informasi yang saya kumpulkan dari browsing internet, saya menemukan Masjid Niujie adalah masjid tertua di Beijing dan menarik untuk dikunjungi. Masjid ini pertama kali dibangun pada tahun 996 pada masa Dinasti Liao, lebih tua dari Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1401.
Kamis 20 November 2014, setelah rangkaian workshop yang saya ikuti selama di Beijing ditutup secara resmi pada tengah hari waktu setempat - saya bergegas menuju stasiun kereta subway terdekat yaitu Stasiun Renmin University. Dari google Maps saya dapatkan informasi bahwa stasiun terdekat dengan Masjid Niujie adalah Stasiun Caishikou. Perjalanan dengan kereta subway jalur 4 ditempuh dalam 47 menit dengan ongkos hanya 2 Yuan sekali jalan, kemudian dilanjutkan berjalan kaki dari stasiun Caishikou ke masjid menembus dinginnya penghujung musim gugur sekitar 1,3 KM selama 15 menit.
Seperti digambarkan di beberapa laman web, Masjid Niujie berarsitektur tradisional Tiongkok. Bila saja tidak mengumpulkan informasi sebelumnya, akan sulit menemukan masjid ini. Perlu lebih teliti untuk menemukan tulisan kecil مسجد berdampingan dengan tulisan dalam aksara Tionghoa 牛街礼拜寺 di pintu gerbang masjid.
Setelah mengucap Assalamu'alaikum kepada petugas penjaga di gerbang masjid, saya menanyakan apakah saya harus membeli tiket. Saya merasa perlu menanyakan hal ini karena saya membaca di beberapa informasi wisata bahwa masjid ini terbuka untuk wisatawan dan pengunjung dikenai biaya tiket masuk sebesar 10 Yuan/ orang. Dengan ramah petugas penjaga menanyakan apakah saya muslim, dan dia menambahkan bahwa muslim yang datang untuk shalat tidak perlu membayar tiket masuk - namun dihimbau untuk memberikan infaq di kotak infaq yang tersedia. Di dekat gerbang, terpampang denah kompleks masjid dan waktu shalat.
Bagian utama dari kompleks masjid ini tentu saja ruang shalat (untuk pria, karena ruang shalat wanita terpisah pada bangunan lain). Arsitektur dan ornamen interior sangat kental bernuansa Tionghoa, dan menurut saya itu lah daya tarik masjid ini - disamping tentu saja nilai sejarahnya.
Di kompleks masjid terdapat menara berarsitektur Tionghoa, tempat azan dikumandangkan. Ada juga bangunan khusus untuk ruang shalat wanita, ruang berwudhu, asrama imam, dan ruang kuliah. Di kompleks masjid ini dipajang beberapa benda bersejarah seperti pilar penopang masjid pada zaman dahulu yang terbuat dari batu. Pilar itu semacam batu prasasti, berukir tulisan dalam aksara Tionghoa dan aksara Arab. Namun tulisan beraksara Arab sudah rusak dan tidak dapat dibaca, tampaknya pernah ada upaya pihak tertentu untuk menghapusnya. Kancah/ kuali besar/ kawah berbahan perunggu juga dipajang di halaman masjid, konon pada zaman dahulu digunakan memasak bubur untuk hidangan berbuka puasa jamaah pada bulan Ramadhan. Sementara itu di halaman belakang, terdapat 2 makam imam masjid dari masa Dinasti Yuan.
Sayangnya saya tidak mengikuti shalat berjamaah karena saya datang setelah shalat ashr berjamaah usai, dan saya tidak dapat menunggu shalat maghrib karena harus segera kembali ke hotel untuk selanjutnya menuju bandara dan kembali ke tanah air. Dari foto-foto yang dipajang di majalah dinding masjid, saya bisa membayangkan suasana masjid ini saat dipenuhi jamaah.
Assalamu'alaikum Beijing (2)
Jalan Niu Jie di mana Masjid Niujie berdiri, berarti jalan sapi. Dinamakan jalan sapi karena di kawasan ini dikenal dengan kedai-kedai muslim yang menjual makanan berbahan daging sapi yang lezat. Ini adalah kawasan muslim Beijing, didominasi oleh bangunan toko dan restoran bercat hijau.
Seperti umumnya, disekitar masjid relatif mudah menemukan restoran halal. Saya memilih makan malam di restoran kecil di Nanheng West Street, masih terbilang kawasan Niujie, untuk makan malam pada hari pertama dan hari terakhir di Beijing. Di restoran ini koki dan kasir pria menggunakan tutup kepala khas Muslim Tionghoa, sedangkan pelayan wanita menggunakan kerudung seperti perempuan muslim di Asia Tenggara.
Komunikasi adalah hal yang sangat menantang di Beijing. Sebagian besar warga Beijing tidak bisa berbahasa Inggris dan tidak bisa membaca tulisan latin. Di restoran, saya hanya mengira-ngira makanan yang akan saya pesan berdasarkan gambar di buku menu - tanpa keterangan dalam bahasa Inggris, hanya tulisan beraksara Tionghoa.
Pada hari pertama saya memesan mie rebus yang tampilannya seperti mie ayam di Indonesia, sepertinya menggunakan daging sapi atau domba.
Pada hari kedua saya memesan mie rebus yang tampilannya berbeda dengan yang pertama, sepertinya menggunakan jeroan sapi atau domba. Saya juga memesan burung bakar - mungkin burung dara.
Karena mie rebus tadi belum membuat saya kenyang, saya memesan lagi nasi dan masakan daging - mungkin daging domba - mirip semur kalau di Indonesia. Alhamdulillah, setelah setiap hari sarapan dan makan siang seadanya (karena terbatas pilihan halal) di hotel, makan malam di restoran halal ini benar benar melepas selera. Lezat!
Seperti umumnya, disekitar masjid relatif mudah menemukan restoran halal. Saya memilih makan malam di restoran kecil di Nanheng West Street, masih terbilang kawasan Niujie, untuk makan malam pada hari pertama dan hari terakhir di Beijing. Di restoran ini koki dan kasir pria menggunakan tutup kepala khas Muslim Tionghoa, sedangkan pelayan wanita menggunakan kerudung seperti perempuan muslim di Asia Tenggara.
Komunikasi adalah hal yang sangat menantang di Beijing. Sebagian besar warga Beijing tidak bisa berbahasa Inggris dan tidak bisa membaca tulisan latin. Di restoran, saya hanya mengira-ngira makanan yang akan saya pesan berdasarkan gambar di buku menu - tanpa keterangan dalam bahasa Inggris, hanya tulisan beraksara Tionghoa.
Pada hari pertama saya memesan mie rebus yang tampilannya seperti mie ayam di Indonesia, sepertinya menggunakan daging sapi atau domba.
Pada hari kedua saya memesan mie rebus yang tampilannya berbeda dengan yang pertama, sepertinya menggunakan jeroan sapi atau domba. Saya juga memesan burung bakar - mungkin burung dara.
Karena mie rebus tadi belum membuat saya kenyang, saya memesan lagi nasi dan masakan daging - mungkin daging domba - mirip semur kalau di Indonesia. Alhamdulillah, setelah setiap hari sarapan dan makan siang seadanya (karena terbatas pilihan halal) di hotel, makan malam di restoran halal ini benar benar melepas selera. Lezat!
Langganan:
Postingan (Atom)