Kemarin aku harus mengucapkan terimakasih kepada convenience store di Ahmad Yani International Airport.
Dengan 1 cup kopi Kapal Api seduh seharga tiga ribu rupiah, bisa nongkrong di ruangan ber AC menunggu penerbangan untuk kembali ke Jakarta, dan paling penting bisa nyolokin laptop yang baterenya sudah bocor (sehingga harus selalu di di plug in untuk mendapat arus listrik). Heran, sebenarnya jualan atau sedang melakukan bakti sosial sih?
Beberapa convenience store di Indonesia sekarang memang menyediakan meja dan beberapa kursi untuk pelanggan yang mampir untuk minum kopi instant, tapi menyediakan arus listrik saya pikir masih langka. Bahkan di kedai kopi waralaba asing yang harga secangkir kopi bisa untuk makan lima piring nasi di warteg harus rebutan nyolokin laptop.
Untuk sementara aku bisa melupakan bagaimana meng-upgrade GFF yang masih biru ke gold biar bisa nongkrong di lounge bandara...
Selasa, 27 September 2011
Senin, 26 September 2011
Duty Travel Rates
On duty travel to Semarang. Nginap di Hotel *** dengan pilihan harga room only, lebih murah hampir seratus ribu dibanding include breakfast. Sebenarnya rate normal hotel ini (include breakfast) tidak sesuai untuk kualifikasi saya. Tapi dengan ambil room only, harganya jadi 'masuk'.
Kebetulan lagi mengurangi porsi makan. Hidangan sarapan prasmanan di hotel hanya membuat porsi makan lebih banyak. Pada saat perjalanan ke daerah, saya sebenarnya lebih suka menu sarapan penduduk setempat. Walaupun umumnya ada traditional corner di restoran hotel, tapi rasanya tidak ‘nendang’ seperti masakan warung. Atau malah traditional corner menyediakan menu daerah lain. Di salah satu hotel di Bangka, menu traditional corner adalah nasi uduk betawi dan bubur ayam cianjur, gak nyambung kan? Kebetulan hanya beberapa langkah dari hotel ada Warung Soto Sami Rasa. Warung ini mulai buka pukul tujuh pagi. Pagi tadi saya melahap Soto + Nasi Putih + Tempe + Kerupuk Udang + Telur Kecap + Teh Manis: cuma Rp. 17.500.
Di luar itu, dapat bonus city views Simpang Lima, landmark kota Semarang dari jendela kamar di lantai 10.
Kebetulan lagi mengurangi porsi makan. Hidangan sarapan prasmanan di hotel hanya membuat porsi makan lebih banyak. Pada saat perjalanan ke daerah, saya sebenarnya lebih suka menu sarapan penduduk setempat. Walaupun umumnya ada traditional corner di restoran hotel, tapi rasanya tidak ‘nendang’ seperti masakan warung. Atau malah traditional corner menyediakan menu daerah lain. Di salah satu hotel di Bangka, menu traditional corner adalah nasi uduk betawi dan bubur ayam cianjur, gak nyambung kan? Kebetulan hanya beberapa langkah dari hotel ada Warung Soto Sami Rasa. Warung ini mulai buka pukul tujuh pagi. Pagi tadi saya melahap Soto + Nasi Putih + Tempe + Kerupuk Udang + Telur Kecap + Teh Manis: cuma Rp. 17.500.
Di luar itu, dapat bonus city views Simpang Lima, landmark kota Semarang dari jendela kamar di lantai 10.
Minggu, 25 September 2011
Si Kutu Buku
Ketika gadis bayi, mamanya langganan majalah Ayah Bunda dan saya langganan majalah Trubus. Ketika gadis beranjak besar, koleksi majalah menjadi mainan yang sangat disukai gadis. Gambar-gambar di majalah itu menarik perhatian gadis, dia menyukai majalah-majalah itu sejak pandangan pertama. Gadis bahkan sudah bisa membalik halaman majalah secara benar dengan jemari mungilnya ketika dia belum berjalan dengan lancar. Mungkin karena senang dengan majalah dan buku, gadis sudah bisa membaca pada usia empat tahun.
Berdasar pengalaman saya, anak-anak hanya perlu pembiasaan. Dengan membiasakan anak-anak bergaul dengan bacaan, otomatis anak akan gemar membaca.
Dan juga penting adalah sikap orang tua terhadap bacaan. Bila orang tua bersikap bahwa buku penting dan membaca fun, anak juga akan bersikap sama.
Berdasar pengalaman saya, anak-anak hanya perlu pembiasaan. Dengan membiasakan anak-anak bergaul dengan bacaan, otomatis anak akan gemar membaca.
Dan juga penting adalah sikap orang tua terhadap bacaan. Bila orang tua bersikap bahwa buku penting dan membaca fun, anak juga akan bersikap sama.
Kamis, 22 September 2011
Weekend Tanpa Ke Mall
Weekend dengan keluarga ke shopping mall memang praktis, semua bisa dilakukan di suatu tempat. Ke toko buku, makan siang, main game, nonton film, nonton pentas seni, dan belanja keperluan rumah. One stop shopping, demikianlah konsep shopping mall.
Terlalu sering ke shoping mall sebenarnya tidak baik bagi perkembangan anak - anak. Setiap ke mall anak didorong untuk mengkonsumsi, tanpa disadari mereka bisa lebih konsumtif.
Sebenarnya banyak pilihan weekend tanpa ke mall. Di Jakarta ada puluhan museum dan taman. Banyak tempat untuk menghabiskan akhir pekan sambil belajar.
Kawasan Kota Tua
Banyak museum dan peninggalan sejarah terkonsentrasi di satu kawasan, kawasan kota tua. Dekat dengan stasiun kereta, tiket masuk museum pun murah. Di kawasan ini ada Museum Sejarah Jakarta dan Taman Fatahillah, Museum Wayang, Museum Seni Rupa, Museum Bank Mandiri, Museum Bahari dan Menara Syahbandar.
Kawasan Monas
Puncak Monas adalah tempat yang ideal untuk mengamati bangunan-bangunan era kolonial. Hanya beberapa puluh meter dari Monas ada Museum Nasional atau yang lebih dikenal sebagai Museum Gajah.
Banyak museum dan taman di TMII...
Ada puluhan museum dan taman di TMII, perlu sehari penuh untuk menikmati satu museum. So far kami baru mengunjungi Museum Transportasi, Museum Perangko, Pusat Peragaan IPTEK, Aquarium Air Tawar, Museum Listrik dan Energi Baru. Masih banyak yang harus dikunjungi.
Kebun Binatang Ragunan
Untuk mengamati ratusan jenis hewan plus menikmati udara segar, cuma beberapa kilometer dari rumah dan tiket masuk yang murah, Kebun Binatang Ragunan adalah pilihannya.
Kebun Raya Bogor
Ada ribuan koleksi tanaman di Kebun Raya Bogor, perlu seharian untuk dikelilingi. Di Kebun Raya Bogor juga ada Museum Zoologi. Dan hanya beberapa puluh meter dari Kebun Raya ada Museum Etnobotani.
Terlalu sering ke shoping mall sebenarnya tidak baik bagi perkembangan anak - anak. Setiap ke mall anak didorong untuk mengkonsumsi, tanpa disadari mereka bisa lebih konsumtif.
Sebenarnya banyak pilihan weekend tanpa ke mall. Di Jakarta ada puluhan museum dan taman. Banyak tempat untuk menghabiskan akhir pekan sambil belajar.
Kawasan Kota Tua
Banyak museum dan peninggalan sejarah terkonsentrasi di satu kawasan, kawasan kota tua. Dekat dengan stasiun kereta, tiket masuk museum pun murah. Di kawasan ini ada Museum Sejarah Jakarta dan Taman Fatahillah, Museum Wayang, Museum Seni Rupa, Museum Bank Mandiri, Museum Bahari dan Menara Syahbandar.
Kawasan Monas
Puncak Monas adalah tempat yang ideal untuk mengamati bangunan-bangunan era kolonial. Hanya beberapa puluh meter dari Monas ada Museum Nasional atau yang lebih dikenal sebagai Museum Gajah.
Banyak museum dan taman di TMII...
Ada puluhan museum dan taman di TMII, perlu sehari penuh untuk menikmati satu museum. So far kami baru mengunjungi Museum Transportasi, Museum Perangko, Pusat Peragaan IPTEK, Aquarium Air Tawar, Museum Listrik dan Energi Baru. Masih banyak yang harus dikunjungi.
Kebun Binatang Ragunan
Untuk mengamati ratusan jenis hewan plus menikmati udara segar, cuma beberapa kilometer dari rumah dan tiket masuk yang murah, Kebun Binatang Ragunan adalah pilihannya.
Kebun Raya Bogor
Ada ribuan koleksi tanaman di Kebun Raya Bogor, perlu seharian untuk dikelilingi. Di Kebun Raya Bogor juga ada Museum Zoologi. Dan hanya beberapa puluh meter dari Kebun Raya ada Museum Etnobotani.
Minggu, 18 September 2011
Lesehan
Lesehan (dari bahasa Jawa) pada mulanya adalah suatu budaya dalam hal memperjualbelikan makanan atau barang sembari duduk di tikar/lantai. Makanan atau barang yang diperjualbelikan turut digelar pada saat lesehan sehingga pengunjung bisa melihat, memilih dan menikmatinya dengan santai. Budaya Lesehan yang sangat terkenal di Indonesia adalah di daerah Yogyakarta.
Warung lesehan Yogyakarta pada awalnya hanya karena alasan pragmatis, memanfaatkan kaki lima untuk berdagang makanan tanpa perlu mengeluarkan modal yang besar untuk membangun warung, cukup dengan membentangkan tikar di kaki lima maka jadilah "warung" lesehan. Di kawasan Malioboro kaki lima pada siang hari digunakan untuk menjual cenderamata kemudian malam hari disulap menjadi warung lesehan. Belakangan warung lesehan beroperasi juga siang hari.
Konsep lesehan memang cocok digunakan untuk warung/ rumah makan yang menyajikan makanan tradisional nusantara. Makan dengan cara duduk bersila di tikar/lantai merupakan cara makan yang umum bagi masyarakat Nusantara. Tak jelas, apakah warung/ rumah makan lesehan yang berkembang belakangan terinspirasi dari lesehan a la Malioboro, namun tak dapat dipungkiri Kawasan Malioboro di Yogyakarta sudah menjadi sentra kuliner malam hari sejak berpuluh tahun yang lalu turut mempopulerkan style ini.
Konsep lesehan ini berkembang tidak hanya digunakan oleh warung kaki lima, tetapi digunakan juga oleh rumah makan yang menyajikan makanan tradisional. Sebagai tempat makan dipilih bangunan berbentuk gubug (Jawa) dan saung (Sunda). Aslinya gubug dan saung merupakan tempat berteduh di sawah, kemudian sangat cocok digunakan untuk rumah makan berkonsep lesehan, terutama yang dipadukan dengan alam.
Di Lombok, yang terkenal dengan kuliner Ayam Taliwang dan Plecing Kangkung, rumah makan lesehan menggunakan berugak. Berugak adalah salah satu jenis bangunan dalam rumah tradisional suku Sasak di Lombok. Rumah tradisonal Sasak biasanya terdiri dari rumah tempat tinggal yang disebut Bale Tani, Lumbung untuk menyimpan padi dan Berugak. Berugak adalah sebuah bangunan panggung berbentuk segi empat yang tidak memiliki dinding, tiangnya terbuat dari kayu atau bambu beratapkan alang-alang, dan disangga oleh empat tiang (sekepat), atau enam tiang (sekenem). Berugak berfungsi sebagai tempat untuk menerima tamu (karena alasan privasi orang Sasak tidak menerima tamu di rumah utama), dan juga digunakan sebagai tempat untuk berkumpul, berbincang-bincang serta bersantai selepas bekerja. Biasanya Berugak terdapat di depan samping kiri atau samping kanan Bale Tani.
Di Banjarmasin saya pernah makan di Waroeng Pondok Bahari, juga dengan konsep lesehan. Menariknya, rumah makan ini menempati rumah panggung era 50an/ 60an. Rumah tinggal yang pada eranya merupakan tipikal rumah orang berpunya ini, di banyak tempat umumnya sudah dibongkar dan digantikan oleh bangunan baru. Makan di rumah makan ini seperti sedang pulang ke rumah nenek. Suatu kemampuan pemilik ide mengeksplorasi keunikan daerahnya. Ide yang benar-benar orisinil.
Sayangnya, di banyak tempat di Indonesia konsep lesehan ini hanya copy - paste saja dari apa yang ada di Pulau Jawa. Beberapa bulan yang lalu saya travelling ke Sumatera Barat dan Riau. Ternyata warung lesehan sekarang juga menjamur di sana, tapi hanya sekedar meng-copy warung lesehan di tempat lain, bahkan juga menggunakan istilah 'warung lesehan'. Padahal bila sedikit lebih cerdas, mereka bisa mengeksplorasi tradisi dan keunikan sendiri. Di Payakumbuh saya melihat banyak rumah tradisional dengan atap bagonjong terbiar melapuk tak dihuni, sementara di halamannya berdiri 'warung lesehan'.
Warung lesehan Yogyakarta pada awalnya hanya karena alasan pragmatis, memanfaatkan kaki lima untuk berdagang makanan tanpa perlu mengeluarkan modal yang besar untuk membangun warung, cukup dengan membentangkan tikar di kaki lima maka jadilah "warung" lesehan. Di kawasan Malioboro kaki lima pada siang hari digunakan untuk menjual cenderamata kemudian malam hari disulap menjadi warung lesehan. Belakangan warung lesehan beroperasi juga siang hari.
Konsep lesehan memang cocok digunakan untuk warung/ rumah makan yang menyajikan makanan tradisional nusantara. Makan dengan cara duduk bersila di tikar/lantai merupakan cara makan yang umum bagi masyarakat Nusantara. Tak jelas, apakah warung/ rumah makan lesehan yang berkembang belakangan terinspirasi dari lesehan a la Malioboro, namun tak dapat dipungkiri Kawasan Malioboro di Yogyakarta sudah menjadi sentra kuliner malam hari sejak berpuluh tahun yang lalu turut mempopulerkan style ini.
Konsep lesehan ini berkembang tidak hanya digunakan oleh warung kaki lima, tetapi digunakan juga oleh rumah makan yang menyajikan makanan tradisional. Sebagai tempat makan dipilih bangunan berbentuk gubug (Jawa) dan saung (Sunda). Aslinya gubug dan saung merupakan tempat berteduh di sawah, kemudian sangat cocok digunakan untuk rumah makan berkonsep lesehan, terutama yang dipadukan dengan alam.
Di Lombok, yang terkenal dengan kuliner Ayam Taliwang dan Plecing Kangkung, rumah makan lesehan menggunakan berugak. Berugak adalah salah satu jenis bangunan dalam rumah tradisional suku Sasak di Lombok. Rumah tradisonal Sasak biasanya terdiri dari rumah tempat tinggal yang disebut Bale Tani, Lumbung untuk menyimpan padi dan Berugak. Berugak adalah sebuah bangunan panggung berbentuk segi empat yang tidak memiliki dinding, tiangnya terbuat dari kayu atau bambu beratapkan alang-alang, dan disangga oleh empat tiang (sekepat), atau enam tiang (sekenem). Berugak berfungsi sebagai tempat untuk menerima tamu (karena alasan privasi orang Sasak tidak menerima tamu di rumah utama), dan juga digunakan sebagai tempat untuk berkumpul, berbincang-bincang serta bersantai selepas bekerja. Biasanya Berugak terdapat di depan samping kiri atau samping kanan Bale Tani.
Di Banjarmasin saya pernah makan di Waroeng Pondok Bahari, juga dengan konsep lesehan. Menariknya, rumah makan ini menempati rumah panggung era 50an/ 60an. Rumah tinggal yang pada eranya merupakan tipikal rumah orang berpunya ini, di banyak tempat umumnya sudah dibongkar dan digantikan oleh bangunan baru. Makan di rumah makan ini seperti sedang pulang ke rumah nenek. Suatu kemampuan pemilik ide mengeksplorasi keunikan daerahnya. Ide yang benar-benar orisinil.
Sayangnya, di banyak tempat di Indonesia konsep lesehan ini hanya copy - paste saja dari apa yang ada di Pulau Jawa. Beberapa bulan yang lalu saya travelling ke Sumatera Barat dan Riau. Ternyata warung lesehan sekarang juga menjamur di sana, tapi hanya sekedar meng-copy warung lesehan di tempat lain, bahkan juga menggunakan istilah 'warung lesehan'. Padahal bila sedikit lebih cerdas, mereka bisa mengeksplorasi tradisi dan keunikan sendiri. Di Payakumbuh saya melihat banyak rumah tradisional dengan atap bagonjong terbiar melapuk tak dihuni, sementara di halamannya berdiri 'warung lesehan'.
Sabtu, 17 September 2011
Dunia anak-anak adalah dunia bermain.
Sejak bersiap menjadi ayah, salah satu bacaan yang saya minati adalah buku dan artikel tentang parenting. Dalam perjalanannya saya menemukan anak-anak adalah juga buku tempat tuhan mengajarkan teori parenting kepada kita.
Dari anak pertama saya belajar "main tebak-tebakan"...
Sejak belum bisa membaca, bahkan seingat saya sejak dia belum lancar berjalan, gadis sudah kutu buku. Setelah bisa membaca pada usia 4 tahun, gadis semakin gila buku.
Waktu mudik lebaran (ketika itu gadis berusia 5 tahun) kami kehabisan bahan bacaan untuk si kutu buku ini, sementara tidak mudah mendapatkan bacaan anak di kampung. Beberapa buku sepupunya yang sudah ABG terpaksa diseleksi yang cocok untuk si sulung. Salah satunya adalah buku “tebak-tebakan”.
Rupanya gadis sangat terkesan dengan buku tebak-tebakan itu. Sekembali ke Jakarta dia minta buku yang sama. Karena di rumah tidak ada buku jenis itu, saya meminta gadis untuk mengerjakan latihan soal untuk kelas 1 yang ada di majalah anak-anak. Tak disangka, gadis menyukai kegiatan latihan soal itu. Gadis menyebut latihan soal itu sebagai 'main tebak-tebakan". Main tebak-tebakan itu berlanjut hingga SD. Mengerjakan latihan soal atau PR bagi gadis bukan belajar, tapi main tebak-tebakan.
Dari anak kedua saya belajar "main angka"...
Anak kedua kami menyukai “main angka” sejak mulai diperkenalkan konsep bilangan dan simbol angka di Taman Kanak-Kanak. Yang dia maksud dengan main angka adalah menulis angka di tembok, lantai, daun pintu, kaca jendela, bahkan lemari. Walaupun disediakan alat tulis, media favoritnya menulis adalah tembok, dan alat tulis favoritnya adalah spidol. Coretan didinding berkembang sejalan dengan pemahamannya terhadap fungsi penjumlahan, pengurangan dan perkalian. Awalnya hanya menuliskan simbol angka, kemudian coretan di dinding berkembang menjadi penjumlahan dan pengurangan. Kami membiarkan tembok rumah penuh coretan, baru di cat ulang setelah bujang kelas 2 SD. Sekarang bujang menyenangi pelajaran matematika, yang bagi dia adalah main angka. Bahkan dia menciptakan sendiri istilah "main angka"
Main restoran-restoranan
Belajar dari mereka, untuk mengurangi makan di luar rumah saya mengajak anak-anak main restoran-restoranan. Mereka adalah pemilik restoran (yang notabene adalah ruang makan di rumah kami), dan mereka yang menentukan menu, kadang mereka juga ikut memasak. Mereka menikmati kegiatan ini, dan kami berhasil mengurangi frekuensi makan di luar.
Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Kata "main" seperti kata magis bagi anak-anak. Anak-anak melakukan apa pun tanpa beban bila bagi mereka itu adalah "bermain".
Dari anak pertama saya belajar "main tebak-tebakan"...
Sejak belum bisa membaca, bahkan seingat saya sejak dia belum lancar berjalan, gadis sudah kutu buku. Setelah bisa membaca pada usia 4 tahun, gadis semakin gila buku.
Waktu mudik lebaran (ketika itu gadis berusia 5 tahun) kami kehabisan bahan bacaan untuk si kutu buku ini, sementara tidak mudah mendapatkan bacaan anak di kampung. Beberapa buku sepupunya yang sudah ABG terpaksa diseleksi yang cocok untuk si sulung. Salah satunya adalah buku “tebak-tebakan”.
Rupanya gadis sangat terkesan dengan buku tebak-tebakan itu. Sekembali ke Jakarta dia minta buku yang sama. Karena di rumah tidak ada buku jenis itu, saya meminta gadis untuk mengerjakan latihan soal untuk kelas 1 yang ada di majalah anak-anak. Tak disangka, gadis menyukai kegiatan latihan soal itu. Gadis menyebut latihan soal itu sebagai 'main tebak-tebakan". Main tebak-tebakan itu berlanjut hingga SD. Mengerjakan latihan soal atau PR bagi gadis bukan belajar, tapi main tebak-tebakan.
Dari anak kedua saya belajar "main angka"...
Anak kedua kami menyukai “main angka” sejak mulai diperkenalkan konsep bilangan dan simbol angka di Taman Kanak-Kanak. Yang dia maksud dengan main angka adalah menulis angka di tembok, lantai, daun pintu, kaca jendela, bahkan lemari. Walaupun disediakan alat tulis, media favoritnya menulis adalah tembok, dan alat tulis favoritnya adalah spidol. Coretan didinding berkembang sejalan dengan pemahamannya terhadap fungsi penjumlahan, pengurangan dan perkalian. Awalnya hanya menuliskan simbol angka, kemudian coretan di dinding berkembang menjadi penjumlahan dan pengurangan. Kami membiarkan tembok rumah penuh coretan, baru di cat ulang setelah bujang kelas 2 SD. Sekarang bujang menyenangi pelajaran matematika, yang bagi dia adalah main angka. Bahkan dia menciptakan sendiri istilah "main angka"
Main restoran-restoranan
Belajar dari mereka, untuk mengurangi makan di luar rumah saya mengajak anak-anak main restoran-restoranan. Mereka adalah pemilik restoran (yang notabene adalah ruang makan di rumah kami), dan mereka yang menentukan menu, kadang mereka juga ikut memasak. Mereka menikmati kegiatan ini, dan kami berhasil mengurangi frekuensi makan di luar.
Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Kata "main" seperti kata magis bagi anak-anak. Anak-anak melakukan apa pun tanpa beban bila bagi mereka itu adalah "bermain".
Rabu, 14 September 2011
Sambung Menyambung Menjadi Satu (1)
Ini tentang sesuatu yang biasa saja tapi cukup mengesankan; dokumentasi dari perjalanan dinas dalam rangka pengawasan Pendataan Sapi Potong Sapi Perah dan Kerbau (PSPK 2011) pada tanggal 16 Juni 2011.
Sapi Bali (Bos sondaicus) adalah sapi hasil penjinakan (domestikasi) banteng liar yang telah dilakukan sejak akhir abad ke 19 di Bali.
Sapi Bali pada foto di bawah ini dipelihara oleh transmigran asal Jawa di District Oransbari Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Foto ini hasil jepretan Pak Ngah yang berasal dari Sumatera...sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia.
Sapi Bali (Bos sondaicus) adalah sapi hasil penjinakan (domestikasi) banteng liar yang telah dilakukan sejak akhir abad ke 19 di Bali.
Sapi Bali pada foto di bawah ini dipelihara oleh transmigran asal Jawa di District Oransbari Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Foto ini hasil jepretan Pak Ngah yang berasal dari Sumatera...sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)