Merancang toilet dan kamar mandi umum dan hotel di Indonesia sebenarnya gampang-gampang susah. Perancang harus memperhatikan toilet behaviour kebanyakan masyarakat Indonesia, pada saat yang sama juga mempertimbangkan toilet behaviour tamu asing atau wisatawan mancanegara.
Walaupun penggunaan shower bagi kalangan menengah ke atas sudah umum, namun kebanyakan masyarakat Indonesia lebih suka mandi dengan mengguyurkan air dari bak menggunakan gayung. Oleh karena itu, kebanyakan hotel melati di daerah wisata (yang biasanya juga jadi inceran turis backpacker) melengkapi kamar mandi dengan bak mandi + gayung dan shower agar kedua type prilaku mandi terakomodir dengan baik. Tidak jarang backpacker mancanegara mendapatkan penginapan dengan kamar mandi yang tak dilengkapi shower. Style kamar mandi yang menurut mereka aneh ini tak jarang menjadi guyonan yang mereka tulis di blog. Cobalah blogwalking ke blognya traveler, anda akan menemukan banyak guyonan tentang "mandi style" ini.
Pancuran (Shower) dan Bak Mandi
Orang Asia aslinya lebih suka toilet jongkok dari pada toilet duduk. Mereka lebih suka membasuh (wash) dari pada menyeka (wipe) sehabis buang hajat. Dengan demikian orang Asia sebenarnya lebih cocok menggunakan toilet basah, sementara orang barat menggunakan toilet kering. Lagi-lagi kedua mazhab ini harus diakomodir. Jangan heran, di negara-negara Asia kita menemukan toilet duduk (yang sebenarnya dirancang sebagai toilet kering, western style) dilengkapi dengan bidet spray untuk membasuh. Jadilah toilet duduk yang basah. Pencampuradukan seperti ini sering dituding sebagai biang kerok penularan penyakit infeksi sistem perkencingan dan reproduksi. Apa tidak lebih baik, misalnya di toilet umum ada 5 bilik, 4 bilik adalah toilet basah sementara 1 bilik dikhususkan sebagai toilet kering yang benar-benar kering?
Toilet Kering dan bidet spray
Kenapa sih urusan toilet bisa jadi panjang lebar begini? Umumnya karena masalah kenyamanan, tapi jangan lupa toilet bisa menjadi sumber mala petaka penularan penyakit infeksi. Pada akhirnya kembali kepada masing-masing orang. Ada yang sangat peduli, agak peduli dan banyak juga yang kurang peduli asal hajat terlaksanakan. Di fasilitas publik, biasanya orang yang sangat peduli harus mengalah. Nah, hal ini yang mungkin ditangkap oleh pengelola Suria KLCC (pusat perbelanjaan di Twin Tower Petronas, KL) dengan menyediakan Toilet Premium. Ketika berkunjung ke sana pada tahun 2005, tanpa sengaja saya menemukan toilet premium ini. Ada beberapa rest room biasa (yang gratis), tapi untuk menggunakan toilet premium kita harus merogoh uang 2 Ringgit ketika masuk. Awalnya terasa lucu, toilet di pusat perbelanjaan modern kok bayar seperti di stasiun kereta api Depok? Tapi pengunjung tidak akan kecewa membayar 2 Ringgit untuk kenyamanan dan kebersihannya.
Premium Toilet
Kamis, 17 Desember 2009
Senin, 07 Desember 2009
ASEAN: Angkot & Co
Karena sangat umum, mungkin ANGKOT menjadi benda yang biasa-biasa saja bagi kita yang tinggal di Indonesia. Nothing special! Tapi bagi teman-teman saya dari mancanegara yang baru pertama kali ke Indonesia menganggap ANGKOT sesuatu yang unik, yang tidak mereka temukan sebelumnya di negaranya atau bahkan negara lain yang pernah mereka kunjungi. Kalau kita perhatikan, masing-masing daerah sebenarnya punya ANGKOT dengan keunikan tersendiri. Namanya juga berbeda-beda. Di Banda Aceh dinamakan labi-labi. Di Pekanbaru disebut oplet. Di pedesaan Sumatera Barat ada oplet cigak baruak. Di Makasar disebut pete-pete. Di Kupang dinamakan Bemo. Kebanyakan ANGKOT & Co yang beredar saat ini adalah mini-van rakitan karoseri yang memang didesign untuk itu. Tetapi masih dapat ditemukan juga truk pick-up yang dimodifiksi menjadi kenderaan pengangkut penumpang (bahkan di Flores truk dimodifikasi menjadi Bis Kayu). Dibeberapa daerah, seperti Pekanbaru dan Kupang, angkot memasang sound system dengan suara yang sangat keras... gokil abis!
Angkot (Depok, Indonesia)
Labi-labi (Banda Aceh, Indonesia)
Oplet cigak baruak (SUMBAR, Indonesia)
Bis Kayu (Flores, Indonesia)
Setali tiga uang dengan Indonesia, di negara tetangga juga ada angkutan penumpang yang unik. Bahkan menjadi bagian dari promosi wisata mereka.
Tuk-tuk versi Laos, berbeda dengan Thailand
Jeepney (Filipina), Bus berkepala Jeep
Bagi traveler yang berprinsip "like doing what the local do"....naik ANGKOT & Co merupakan hal yang menarik untuk dilakukan sebagai experience perjalanan di negara berkembang seperti kawasan ASEAN.
Angkot (Depok, Indonesia)
Labi-labi (Banda Aceh, Indonesia)
Oplet cigak baruak (SUMBAR, Indonesia)
Bis Kayu (Flores, Indonesia)
Setali tiga uang dengan Indonesia, di negara tetangga juga ada angkutan penumpang yang unik. Bahkan menjadi bagian dari promosi wisata mereka.
Tuk-tuk versi Laos, berbeda dengan Thailand
Jeepney (Filipina), Bus berkepala Jeep
Bagi traveler yang berprinsip "like doing what the local do"....naik ANGKOT & Co merupakan hal yang menarik untuk dilakukan sebagai experience perjalanan di negara berkembang seperti kawasan ASEAN.
Minggu, 06 Desember 2009
Cerita Bintaran (1)
Ini sepenggal cerita tentang Kampung Bintaran (walaupun berada ditengah kota, warga setempat lebih suka menyebutnya kampung – yang resminya merupakan sebuah RW), di mana saya pernah singgah selama 3 tahun. Akhiran –an dalam bahasa Jawa dapat berarti tempat. Misalnya Surokarsan berarti perkampungan prajurit Surokarso. Bintaran berarti tempat tinggal Bintoro. Ya. Sebelum berkembang menjadi pemukiman Indisch, Bintaran dikenal sebagai kediaman Bendara Pangeran Haryo Bintoro, salah satu keluarga Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ndalem Mandara Giri, kediaman sang pangeran masih berdiri hingga saat ini.
Pada masa Kolonial Belanda, Bintaran pernah menjadi pemukiman Indische. Diperkirakan dimulai awal abad XX. Seperti halnya kampung Indische lainnya, Bintaran dihiasi dengan bangunan-bangunan yang berarsitektur khas Eropa yang masih dapat dijumpai hingga saat ini.
Rumah bergaya Indisch di Bintaran Tengah
Bangunan bergaya Indisch di Bintaran Wetan (Sekarang Museum Soedirman)
Selain bangunan dan sejarahnya, Bintaran juga dikenal dengan pesona lain, yaitu kuliner. Yang cukup terkenal adalah Bakmi Kadin yang berlokasi di Bintaran Kulon, dan Gudeg Permata di Bintaran Lor.
Bintaran juga boleh disebut miniatur Indonesia. Bintaran merupakan rumah bagi mahasiswa asal daerah lain di Indonesia: di sini berdiri Asrama Putera Riau, Asrama Puteri Bundo Kanduang Sumatera Barat, Asrama Putera Sulawesi Tengah, Asrama Mahasiswa Prov. Sulawesi Selatan (Wisma Sawerigading), dan Asrama Putera – Puteri Rahadi Osman Kalimantan Barat serta tentu saja rumah indekost yang tersebar di kampung Bintaran.
Uniknya, kawasan elit (paling tidak pernah menjadi kawasan elit awal abad XX) Bintaran bersebelahan langsung dengan perkampungan pinggir kali Code - lebih dikenal dengan Ledok Code - yang menjadi tempat tinggal bagi "wong cilik", tanpa sekat pemisah, secara fisik maupun sosial. Mbah Sum, pengasuh Megawati Sukarnoputri ketika Bung Karno mengungsi ke Jogja, tinggal di sini. Baca: http://regional.kompas.com/read/xml/2009/06/24/18265912/mega.temui.pengasuhnya.di.yogya
Latar belakang sejarah dan realitas saat ini membuat Bintaran menjadi tempat yang unik dan spesial (setidaknya bagi saya pribadi). Singgah di sana selama 3 tahun merupakan pengalaman luar biasa dalam hidup saya.
Pada masa Kolonial Belanda, Bintaran pernah menjadi pemukiman Indische. Diperkirakan dimulai awal abad XX. Seperti halnya kampung Indische lainnya, Bintaran dihiasi dengan bangunan-bangunan yang berarsitektur khas Eropa yang masih dapat dijumpai hingga saat ini.
Rumah bergaya Indisch di Bintaran Tengah
Bangunan bergaya Indisch di Bintaran Wetan (Sekarang Museum Soedirman)
Selain bangunan dan sejarahnya, Bintaran juga dikenal dengan pesona lain, yaitu kuliner. Yang cukup terkenal adalah Bakmi Kadin yang berlokasi di Bintaran Kulon, dan Gudeg Permata di Bintaran Lor.
Bintaran juga boleh disebut miniatur Indonesia. Bintaran merupakan rumah bagi mahasiswa asal daerah lain di Indonesia: di sini berdiri Asrama Putera Riau, Asrama Puteri Bundo Kanduang Sumatera Barat, Asrama Putera Sulawesi Tengah, Asrama Mahasiswa Prov. Sulawesi Selatan (Wisma Sawerigading), dan Asrama Putera – Puteri Rahadi Osman Kalimantan Barat serta tentu saja rumah indekost yang tersebar di kampung Bintaran.
Uniknya, kawasan elit (paling tidak pernah menjadi kawasan elit awal abad XX) Bintaran bersebelahan langsung dengan perkampungan pinggir kali Code - lebih dikenal dengan Ledok Code - yang menjadi tempat tinggal bagi "wong cilik", tanpa sekat pemisah, secara fisik maupun sosial. Mbah Sum, pengasuh Megawati Sukarnoputri ketika Bung Karno mengungsi ke Jogja, tinggal di sini. Baca: http://regional.kompas.com/read/xml/2009/06/24/18265912/mega.temui.pengasuhnya.di.yogya
Latar belakang sejarah dan realitas saat ini membuat Bintaran menjadi tempat yang unik dan spesial (setidaknya bagi saya pribadi). Singgah di sana selama 3 tahun merupakan pengalaman luar biasa dalam hidup saya.
Sabtu, 05 Desember 2009
Ha Noi: Hanya ada 1 KFC dan 1 Masjid
KFC Ha Noi
Bacalah cuplikan berita di bawah ini. Mungkin hal yang sama juga terjadi waktu KFC pertama dibuka Oktober 1979 di Jalan Melawai, Jakarta: antrean panjang, long queues!
[VietNamNet (23/06/2006) – KFC open its first Hanoi outlet yesterday and is eyeing locations for more outlets in the North Vietnam. On the opening day, the outlet attracted a throng of curious customers, who joined long queues in order to taste the colonel’s recipe. “This is a good start,” KFC Vietnam General Director Nguyen Chi Kien said. He also thinks that Hanoi is a potential market for KFC to expand its business. “Hanoian’s have changed their tastes and we see a lot of opportunity here for KFC,” Kien added. KFC plans to open three other outlets in the city later this year, with other northern cities on its expansion schedule such as Hai Phong. KFC opened its first Vietnam outlet in HCM City in 1997. Since then 19 outlets have opened in HCM City and one in Dong Nai Province. (Source: BBC)]
Ini berita biasa kalau di tanah air. Tapi tentu saja berita luar biasa di negara Komunis seperti Vietnam. Menurut saya Ha Noi merupakan kota yang hebat, cukup kuat mempertahankan pedagang tradisional/ pedagang kecil dan usaha lokal mereka dari gempuran kapitalisme.Tidak seperti Jakarta dan kota-kota lain di tanah air, tidak mudah menemukan restoran cepat saji a la western di Ha Noi. Setahu saya hanya ada 1 KFC di Ha Noi. Letaknya sangat strategis dekat danau Hoan Kiem. Menempati bangunan tua (mungkin dibangun pada era kolonial Perancis).
Masjid Ha Noi
Hal lain yang menarik adalah kehidupan beragama di Ha Noi. Saya tertarik untuk mengunjungi Masjid di Ha Noi pada kunjungan saya yang kedua pada Ramadhan 1429 (2008). Setelah browsing di internet saya menemukan alamat Masjid Al Nour, satu-satunya masjid di Ha Noi. Saya minta bantuan petugas front office hotel tempat saya menginap untuk menunjukkan arah masjid. Jangan tanyakan masjid kepada warga lokal, karena bangunan ini lebih dikenal dengan sebutan Pagoda India. Karena itu, wajar jika mereka kebingungan saat diminta menunjukkan arah masjid itu. Lebih baik kita menanyakan Hang Luoc Street No. 12, alamat masjid ini. Lokasinya tidak jauh (dapat ditempuh dengan jalan kaki) dari Hang Gai Street yang merupakan pusat tempat belanja souvenir bagi para turis. Bahkan saya berjalan kaki dari Thuong Kiet Street, tempat saya menginap.
Jika melihat fisik bangunan, masjid yang konon dibangun oleh orang-orang Muslim India pada 1890 itu, kalau di Indonesia lebih tepat disebut mushalah. Luas bangunan hanya 100-an m2. Kapasitas masjid hanya bisa menampung 100-an jamaah. Padahal, rata-rata mushalah di Indonesia lebih dari itu. Halaman masjid cukup teduh.Terdapat beberapa tanaman dan pot-pot bunga. Sebagai pembatas, ada pagar setinggi dua meter dicat putih. Bangunan masjid tentu saja terlihat kontras dengan lingkungan sekitarnya. Alhamdulillah, saya bisa merasakan atmosfir relijius di negara Komunis.
Bacalah cuplikan berita di bawah ini. Mungkin hal yang sama juga terjadi waktu KFC pertama dibuka Oktober 1979 di Jalan Melawai, Jakarta: antrean panjang, long queues!
[VietNamNet (23/06/2006) – KFC open its first Hanoi outlet yesterday and is eyeing locations for more outlets in the North Vietnam. On the opening day, the outlet attracted a throng of curious customers, who joined long queues in order to taste the colonel’s recipe. “This is a good start,” KFC Vietnam General Director Nguyen Chi Kien said. He also thinks that Hanoi is a potential market for KFC to expand its business. “Hanoian’s have changed their tastes and we see a lot of opportunity here for KFC,” Kien added. KFC plans to open three other outlets in the city later this year, with other northern cities on its expansion schedule such as Hai Phong. KFC opened its first Vietnam outlet in HCM City in 1997. Since then 19 outlets have opened in HCM City and one in Dong Nai Province. (Source: BBC)]
Ini berita biasa kalau di tanah air. Tapi tentu saja berita luar biasa di negara Komunis seperti Vietnam. Menurut saya Ha Noi merupakan kota yang hebat, cukup kuat mempertahankan pedagang tradisional/ pedagang kecil dan usaha lokal mereka dari gempuran kapitalisme.Tidak seperti Jakarta dan kota-kota lain di tanah air, tidak mudah menemukan restoran cepat saji a la western di Ha Noi. Setahu saya hanya ada 1 KFC di Ha Noi. Letaknya sangat strategis dekat danau Hoan Kiem. Menempati bangunan tua (mungkin dibangun pada era kolonial Perancis).
Masjid Ha Noi
Hal lain yang menarik adalah kehidupan beragama di Ha Noi. Saya tertarik untuk mengunjungi Masjid di Ha Noi pada kunjungan saya yang kedua pada Ramadhan 1429 (2008). Setelah browsing di internet saya menemukan alamat Masjid Al Nour, satu-satunya masjid di Ha Noi. Saya minta bantuan petugas front office hotel tempat saya menginap untuk menunjukkan arah masjid. Jangan tanyakan masjid kepada warga lokal, karena bangunan ini lebih dikenal dengan sebutan Pagoda India. Karena itu, wajar jika mereka kebingungan saat diminta menunjukkan arah masjid itu. Lebih baik kita menanyakan Hang Luoc Street No. 12, alamat masjid ini. Lokasinya tidak jauh (dapat ditempuh dengan jalan kaki) dari Hang Gai Street yang merupakan pusat tempat belanja souvenir bagi para turis. Bahkan saya berjalan kaki dari Thuong Kiet Street, tempat saya menginap.
Jika melihat fisik bangunan, masjid yang konon dibangun oleh orang-orang Muslim India pada 1890 itu, kalau di Indonesia lebih tepat disebut mushalah. Luas bangunan hanya 100-an m2. Kapasitas masjid hanya bisa menampung 100-an jamaah. Padahal, rata-rata mushalah di Indonesia lebih dari itu. Halaman masjid cukup teduh.Terdapat beberapa tanaman dan pot-pot bunga. Sebagai pembatas, ada pagar setinggi dua meter dicat putih. Bangunan masjid tentu saja terlihat kontras dengan lingkungan sekitarnya. Alhamdulillah, saya bisa merasakan atmosfir relijius di negara Komunis.
Kamis, 03 Desember 2009
ASEAN: Komunitas Sosial Budaya
Me & My ASEAN colleagues @ Wat Chai Wattanaram
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan ASEAN untuk mencapai integrasi dalam bentuk ASEAN Community yang diimpikan pada 2015. ASEAN Community merupakan sebuah ide untuk menggerakkan ASEAN ke arah sebuah komunitas dan identitas baru yang lebih mengikat. Komunitas yang ingin dibentuk itu didirikan di atas tiga pilar, yaitu Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community), Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN (ASEAN Political Security Community), dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community). Menurut saya, hal terpenting adalah masyarakat (publik) semua negara anggota menyadari bahwa mereka adalah satu komunitas. Perhatikanlah warisan budaya berupa candi-candi dibawah ini, kita akan menyadari bahwa ASEAN memang merupakan suatu komunitas Sosial-Budaya.
Wat Chai Wattanaram (Thailand)
Angkor Wat (Cambodia)
Candi Prambanan (Indonesia)
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan ASEAN untuk mencapai integrasi dalam bentuk ASEAN Community yang diimpikan pada 2015. ASEAN Community merupakan sebuah ide untuk menggerakkan ASEAN ke arah sebuah komunitas dan identitas baru yang lebih mengikat. Komunitas yang ingin dibentuk itu didirikan di atas tiga pilar, yaitu Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community), Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN (ASEAN Political Security Community), dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community). Menurut saya, hal terpenting adalah masyarakat (publik) semua negara anggota menyadari bahwa mereka adalah satu komunitas. Perhatikanlah warisan budaya berupa candi-candi dibawah ini, kita akan menyadari bahwa ASEAN memang merupakan suatu komunitas Sosial-Budaya.
Wat Chai Wattanaram (Thailand)
Angkor Wat (Cambodia)
Candi Prambanan (Indonesia)
Rabu, 02 Desember 2009
Mie Instant: real story of ngirit
God's best food creation is the egg. Beraneka zat gizi terkandung dalam sebutir telur, yang sebenarnya hanyalah sebuah sel. Telur adalah satu-satunya bahan pangan asal hewan yang dapat bertahan diluar tubuh hewan hingga beberapa hari tanpa pengawetan, tanpa refrigerator. Luar biasa! Itu pelajaran yang saya dapat di bangku sekolah…
Apa makanan terbaik yang dibuat manusia? Saat camping, mendaki gunung, kelaparan di warnet, menunggu wesel tiba diakhir bulan ketika zaman sekolah, kehilangan selera saat masuk angin, apa yang anda makan? Kalau dibuat polling, saya yakin jawaban terbanyak adalah mie instant. Men's greatest food invention is instant noodles!
Mie instant bersifat ringan, padat, mudah dibawa, harganya lebih murah dari sebotol air minum dalam kemasan, mudah dimasak dan enak! Saya selalu membawa mie instant dari rumah bila bepergian ke luar negeri (kecuali ke Australia karena malas berurusan dengan Karantina). Alasan paling sesuai untuk camouflage adalah susah cari makanan yang sesuai dengan lidah Melayu di luar negeri. He he he… Sebenarnya alasan utama adalah ngirit. Bayangkan, 1.500 rupiah bisa untuk dinner di luar negeri, di hotel berbintang (walaupun di kamar sendiri!!!). Pocket money atau perdiem dari organizer bisa dibawa pulang, ditabung buat nombokin gaji PNS. Menabung sisa travelling allowance adalah cara efektif menambah penghasilan, terutama bagi PNS yang tidak mau (atau tidak punya kesempatan) untuk korupsi. This is no more camouflage...this is real life story ...
Sebenarnya sangat mudah menemukan mie instant di luar negeri (terutama Asia dan Australia yang pernah saya kunjungi, waktu ke Afrika Selatan nggak sempat ke supermarket). Kalau ada waktu, saya suka lihat-lihat mie instant di convenience store terdekat atau bahkan di supermarket: study banding mie instant! Di convenience store atau mini market, kebanyakan mie instant yang dijual adalah mie instant lokal dengan label dalam bahasa dan aksara lokal, dan umumnya tanpa sertifikat halal. Seperti di Indonesia, di supermarket pilihannya lebih banyak, ada ramen Jepang, ramen Korea disamping tentunya mie instant local, dan bila beruntung ada Indomie™ . Di Australia saya pernah menemukan Indomie™ goreng rasa sate, yang di dalam negeri malah belum pernah saya temukan. Jangan bayangkan di luar negeri selalu gampang menemukan supermarket. Di Hanoi dan di Luang Prabang (Laos) jangankan supermarket, nyari minimarket aja susah. Di Bangkok, saya pernah tinggal di hotel yang menyatu dengan pusat perbelanjaan MBK, tapi pernah juga harus naik kereta untuk mencapai supermarket terdekat. Jadi, yang terbaik adalah bawa sendiri mie instant dari rumah.
Kekonyolan pernah terjadi di Luang Prabang. Repot-repot bawa 7 bungkus mie instant dan wadah plastik food grade yang tahan panas buat merendamnya dari rumah, di kamar hotel ternyata nggak tersedia pemanas air/ coffee making facilities. Mau direbus pake apa itu mie instant?
Apa makanan terbaik yang dibuat manusia? Saat camping, mendaki gunung, kelaparan di warnet, menunggu wesel tiba diakhir bulan ketika zaman sekolah, kehilangan selera saat masuk angin, apa yang anda makan? Kalau dibuat polling, saya yakin jawaban terbanyak adalah mie instant. Men's greatest food invention is instant noodles!
Mie instant bersifat ringan, padat, mudah dibawa, harganya lebih murah dari sebotol air minum dalam kemasan, mudah dimasak dan enak! Saya selalu membawa mie instant dari rumah bila bepergian ke luar negeri (kecuali ke Australia karena malas berurusan dengan Karantina). Alasan paling sesuai untuk camouflage adalah susah cari makanan yang sesuai dengan lidah Melayu di luar negeri. He he he… Sebenarnya alasan utama adalah ngirit. Bayangkan, 1.500 rupiah bisa untuk dinner di luar negeri, di hotel berbintang (walaupun di kamar sendiri!!!). Pocket money atau perdiem dari organizer bisa dibawa pulang, ditabung buat nombokin gaji PNS. Menabung sisa travelling allowance adalah cara efektif menambah penghasilan, terutama bagi PNS yang tidak mau (atau tidak punya kesempatan) untuk korupsi. This is no more camouflage...this is real life story ...
Sebenarnya sangat mudah menemukan mie instant di luar negeri (terutama Asia dan Australia yang pernah saya kunjungi, waktu ke Afrika Selatan nggak sempat ke supermarket). Kalau ada waktu, saya suka lihat-lihat mie instant di convenience store terdekat atau bahkan di supermarket: study banding mie instant! Di convenience store atau mini market, kebanyakan mie instant yang dijual adalah mie instant lokal dengan label dalam bahasa dan aksara lokal, dan umumnya tanpa sertifikat halal. Seperti di Indonesia, di supermarket pilihannya lebih banyak, ada ramen Jepang, ramen Korea disamping tentunya mie instant local, dan bila beruntung ada Indomie™ . Di Australia saya pernah menemukan Indomie™ goreng rasa sate, yang di dalam negeri malah belum pernah saya temukan. Jangan bayangkan di luar negeri selalu gampang menemukan supermarket. Di Hanoi dan di Luang Prabang (Laos) jangankan supermarket, nyari minimarket aja susah. Di Bangkok, saya pernah tinggal di hotel yang menyatu dengan pusat perbelanjaan MBK, tapi pernah juga harus naik kereta untuk mencapai supermarket terdekat. Jadi, yang terbaik adalah bawa sendiri mie instant dari rumah.
Kekonyolan pernah terjadi di Luang Prabang. Repot-repot bawa 7 bungkus mie instant dan wadah plastik food grade yang tahan panas buat merendamnya dari rumah, di kamar hotel ternyata nggak tersedia pemanas air/ coffee making facilities. Mau direbus pake apa itu mie instant?
Dipalak preman Durban
Di Jakarta saya belum pernah (mudah-mudahan nggak akan pernah) di todong, dipalak, dicopet atau dijambret. Kalau dicopet pernah sekali di Jogja, waktu nonton Grebeg Maulud – itu pun karena saking bengongnya meperhatikan dosen saya yang ikut parade prajurit keraton sampai tidak sadar ada yang ngambil dompet. Gimana tidak bengong, kaget banget melihat dosen UGM kok nyambi jadi prajurit kraton. Pernah juga berurusan dengan para pencopet Jogja, gara-gara membantu seorang mahasiswi yang jadi target copet di Bus Kota (KOPATA) jalur 2 yang lagi lewat kawasan Malioboro. Nasib baik waktu itu saya tidak diapa-apain sama gerombolan copet gara-gara mereka berlima (orang Sumatera semua) tau kalau saya budak Sumatera…hehehe solidaritas Jong Sumatranen Bond. Malah dinasehati oleh para copet….”kamu kesini dikirim orang tuamu untuk belajar, jangan malah nangkap copet… nanti tidak bawa pulang gelar sarjana malah dapat gelar almarhum….” ….”Iya lah Bang!”
Pengalaman dipalak justru jauh di Durban, Afrika Selatan. Bagi anda pencinta bola pasti tau Durban adalah kota tempat penyelenggaraan FIFA World Club tahun depan. Saya melakukan perjalanan ke Durban Agustus 2009, untuk mempresentasikan paper saya di symposium internasional di bidang epidemiologi veteriner.
Sebenarnya organizer sudah wanti-wanti kepada peserta untuk tidak berjalan kaki sendirian di Durban. Tiba di hotel, salah satu dari daftar pesan yang dibuat oleh organizer dan diteruskan oleh front office hotel ke peserta adalah: “ As South Africa is a developing country, crime does exist, so we would advise you to take a few basic precautions bla bla bla Public transport is available in South Africa so there is no need to hitch-hike bla bla bla…” Kota apa ini? Kok jalan kaki di tengah kota saja tidak aman? Ini mah lebih parah dari Pasar Senen! Inikah kota penyelenggara World Cup 2010?
Hari pertama, masalah timbul. Laptop low-bat. Charger batere Laptop tidak cocok dengan stop kontak di sana. Socket adaptor yang saya bawa juga tidak membantu. Adaptor yang disediakan hotel tempat saya menginap, juga tidak ada yang cocok. Sementara power point untuk oral presentation belum jadi….ini memang penyakit kronis, kalau belum deadline otak saya belum bisa efektif bekerja, selalu pakai jurus last minute. Saya tanya ke Security Durban Convention Centre, dimana saya bisa membeli socket adaptor? Mereka bilang di Workshop Shopping Centre, Cuma sekitar 250an meter dari convention centre. Tapi mereka tidak merekomendasikan saya untuk berjalan kaki sendirian ke sana. Taxi? Nggak banget, cuma 250m kok naik taxi. Saya nekad saja jalan kaki sendiri
Hampir saja sampai shopping centre, saya didekati oleh preman, dia minta uang…money!..money!… dengan gerakan mengancam bahkan tangannya berusaha merebut dompet dari kantong celana saya. Saya ingat pesan dari organizer: Should you be confronted by an armed individual - immediately comply, avoid making sudden movements, and do not offer any form of resistance. Any hesitation on your part could be perceived as a threat and may result in unnecessary violence….Kali ini saya sadar, saya tidak berhadapan dengan tukang palak Sumatera. Saya berusaha tenang (sambil komat-kamit berdoa)….dan untung saja ada security pusat perbelanjaan yang melihat dari kejauhan dan datang membantu saya. Yang malak saya langsung ngibrit. Alhamdulillah…..
Jengkel juga dengan Durban. Tapi saya harus mengapresiasi organizer, termasuk pihak keamanan convention centre yang dengan detail memberikan petunjuk keamanan kepada tamu asing. Saya ingat kejadian Desember 2004, ketika bertugas sebagai organizer suatu Meeting di Denpasar, harus menanggung malu, karena tamu kami dari Malaysia kehilangan sepatu di Masjid saat shalat Jum’at. Kami memergoki si tamu berjalan nyeker pulang dari Masjid ke hotel… ”kasut saya dicuri orang!”. Padahal itu tidak akan terjadi kalau organizer mengingatkan peserta untuk memakai sandal jepit ke Masjid.
Durban International Convention Centre
Pengalaman dipalak justru jauh di Durban, Afrika Selatan. Bagi anda pencinta bola pasti tau Durban adalah kota tempat penyelenggaraan FIFA World Club tahun depan. Saya melakukan perjalanan ke Durban Agustus 2009, untuk mempresentasikan paper saya di symposium internasional di bidang epidemiologi veteriner.
Sebenarnya organizer sudah wanti-wanti kepada peserta untuk tidak berjalan kaki sendirian di Durban. Tiba di hotel, salah satu dari daftar pesan yang dibuat oleh organizer dan diteruskan oleh front office hotel ke peserta adalah: “ As South Africa is a developing country, crime does exist, so we would advise you to take a few basic precautions bla bla bla Public transport is available in South Africa so there is no need to hitch-hike bla bla bla…” Kota apa ini? Kok jalan kaki di tengah kota saja tidak aman? Ini mah lebih parah dari Pasar Senen! Inikah kota penyelenggara World Cup 2010?
Hari pertama, masalah timbul. Laptop low-bat. Charger batere Laptop tidak cocok dengan stop kontak di sana. Socket adaptor yang saya bawa juga tidak membantu. Adaptor yang disediakan hotel tempat saya menginap, juga tidak ada yang cocok. Sementara power point untuk oral presentation belum jadi….ini memang penyakit kronis, kalau belum deadline otak saya belum bisa efektif bekerja, selalu pakai jurus last minute. Saya tanya ke Security Durban Convention Centre, dimana saya bisa membeli socket adaptor? Mereka bilang di Workshop Shopping Centre, Cuma sekitar 250an meter dari convention centre. Tapi mereka tidak merekomendasikan saya untuk berjalan kaki sendirian ke sana. Taxi? Nggak banget, cuma 250m kok naik taxi. Saya nekad saja jalan kaki sendiri
Hampir saja sampai shopping centre, saya didekati oleh preman, dia minta uang…money!..money!… dengan gerakan mengancam bahkan tangannya berusaha merebut dompet dari kantong celana saya. Saya ingat pesan dari organizer: Should you be confronted by an armed individual - immediately comply, avoid making sudden movements, and do not offer any form of resistance. Any hesitation on your part could be perceived as a threat and may result in unnecessary violence….Kali ini saya sadar, saya tidak berhadapan dengan tukang palak Sumatera. Saya berusaha tenang (sambil komat-kamit berdoa)….dan untung saja ada security pusat perbelanjaan yang melihat dari kejauhan dan datang membantu saya. Yang malak saya langsung ngibrit. Alhamdulillah…..
Jengkel juga dengan Durban. Tapi saya harus mengapresiasi organizer, termasuk pihak keamanan convention centre yang dengan detail memberikan petunjuk keamanan kepada tamu asing. Saya ingat kejadian Desember 2004, ketika bertugas sebagai organizer suatu Meeting di Denpasar, harus menanggung malu, karena tamu kami dari Malaysia kehilangan sepatu di Masjid saat shalat Jum’at. Kami memergoki si tamu berjalan nyeker pulang dari Masjid ke hotel… ”kasut saya dicuri orang!”. Padahal itu tidak akan terjadi kalau organizer mengingatkan peserta untuk memakai sandal jepit ke Masjid.
Durban International Convention Centre
Langganan:
Postingan (Atom)