Kamis, 25 Februari 2010

Sea World Club Maumere: Hotel tak Harus Mewah

Sea World Club adalah hotel dengan konsep resort tepi pantai (beachfront Hotel-Resort). Ada beberapa bungalow/ cottage bergaya bangunan tradisional Indonesia dengan lanskap tropis khas Flores. Berbagai tipe bungalow/ cottage tersedia untuk dipilih sesuai kebutuhan (dan kantong) yaitu Beachfront Suite Bungalow, Honeymoon Suite, Family Villa, Beachfront and Beachview Houses, Superior Cottage dan Garden Cottage. Bersama tiga teman lain, kami memilih Beachfront House, rumah panggung 2 kamar masing-masing twin share yang langsung berhadapan dengan laut dan bila malam ombak terhempas hingga ke tangga cottage, lumayan murah 400.000/ malam/ cottage sudah termasuk sarapan.

Sea World Club merupakan milik yayasan sosial YASPEM yang menjalankan beberapa kegiatan amal di Maumere. Pendiri YASPEM adalah seorang pensiunan pastur/ pater Bollen. Penghasilan dari Sea World digunakan untuk kegiatan amal yayasan. Pater Bollen sekarang tinggal di Sea World Club. Mungkin karena sang pater berasal dari Jerman, banyak turis yang datang berkebangsaan Jerman.

'Beachfront House', khas tropis


Beranda 'Beachfront House' untuk bersantai


Sea World Club terletak di teluk dengan pantai yang tenang sangat sempurna untuk berenang dan snorkelling atau scuba diving. Saya datang ke sana bukan untuk berlibur, tapi untuk bekerja. Tidak ada banyak waktu untuk bersenang-senang. Tapi duduk di teras cottage sambil menikmati deburan ombak dan sunsets sudah luar biasa nikmatnya.

Hanya beberapa langkah ke pantai


Sunset dapat dinikmati dari beranda


Open Air Restaurant berada di kompleks ini menyajikan masakan Indonesia dan Internasional. Tentu saja karena Maumere kaya akan hasil laut, makanan yang diandalkan adalah ikan bakar dan seafood. Pada malam tertentu, pengunjung dihibur oleh 'musik kampung' yang dibawakan oleh masyarakat sekitar.

Bangunan Open Air Restaurant


Interior Open Air Restaurant


Bangunan hotel, restoran dan front office serta furniture hampir semuanya terbuat dari kayu, bambu dan rotan. Bagi wisatawan lokal, Sea World Club mungkin jauh dari kesan mewah. Bahkan mungkin sangat sederhana. Tetapi kesan tropis yang ditampilkan berpadu dengan keindahan pantai dan alam bawah laut serta konsep amal (penghasilan untuk kegiatan amal/ charity) telah menjadikannya sangat populer dan ramai dukunjungi wisatawan asing, terutama Eropa. Suatu pelajaran bahwa kesuksesan menjual pariwisata tidak selalu bermodalkan kemewahan tetapi lebih kepada konsep, keunikan dan kualitas pelayanan.

Kredit Foto http://www.sea-world-club.com/

Depok: Belajar Sejarah di Mall

Margonda City atau lebih terkenal dengan Margo City adalah satu di antara Mall yang berdiri di Kota Depok, Jawa Barat. Seperti kota-kota lain di Indonesia, Mall seolah merupakan benda wajib yang harus ada, walau kadang menyebabkan pasar tradisional dan pedagang kecil tergusur.

Margo City: Koridor Pedestrian

Pembangunan Margo City menuai kritik tidak hanya karena persaingan peretail raksasa versus pasar tradisional, tetapi Mall ini didirikan di situs bersejarah kota Depok yaitu Rumah Tua Pondok Cina. Rumah Tua tersebut telah berdiri sejak abad ke-19 dan menjadi bukti suatu episode sejarah yang dilalui oleh kota Depok. Masih untung pembangunan Mall ini menyisakan sebagian bangunan, yaitu bagian Serambi Depan Rumah Tua itu, yang sekarang dijadikan bangunan komersial sebagai cafe dengan nama "the Old House Cafe".


Terlepas dari dosa yang dibuat Margo City, menyebabkan rusaknya keutuhan situs sejarah Depok, ada hal positif yang patut dicatat. Pertama tentu saja masih dipertahankannya bangunan bersejarah (walau hanya sebagian) dan penyediaan panel informasi tentang bangunan bersejarah Rumah Tua Pondok Cina serta panel lainnya tentang Sejarah Depok Lama dan Peninggalan Sejarahnya. Panel tersebut menempati panel reklame outdoor yang berjejer di koridor untuk pejalan kaki (pedestrian).


Rumah Tua Pondok Cina
Rumah Tua Pondok Cina



Panel Informasi Rumah Tua Pondok Cina
Panel Informasi Rumah Tua Pondok Cina


Panel Informasi Sejarah Depok Lama
Panel Informasi Sejarah Depok Lama

Sebagai blogger, saya sangat terkesan dengan Panel Informasi Sejarah Depok Lama. Informasi yang ditampilkan bersumber dari blognya Hans Soedira yaitu salah satu blogger Kota Depok dengan alamat www.goblogk.blogspot.com. Tentu ini membanggakan kita para blogger.


Saya pikir hal semacam ini bisa ditiru oleh Kota Pekanbaru, menyediakan Panel Informasi di Mall tentang sejarah awal Kota Pekanbaru; informasi sejarah era Payung Sekaki, Senapelan, hingga menjadi Pekanbaru. Mungkin Blogger Pekanbaru bisa menginisiasi hal ini dengan Pengusaha Mall atau Pemerintah Kota, hitung-hitung Kopi Darat, tidak hanya bermain di alam maya.

Selasa, 09 Februari 2010

Segambut: Jejak Perantau Kuantan di Semenanjung

Segambut: Jejak Perantau Kuantan di Semenanjung

Segambut adalah sub-district dan daerah pemilihan parlemen di Kuala Lumpur. Bila menumpang Kereta Komuter melalui rute(laluan) Rawang - Seremban, kita melewati daerah ini.


Seperti yang saya tulis di Kuala Lumpur Di Sini Bandaraya Itu Bermula, bahwa Kuala Lumpur berawal dari dibukanya penambangan timah di kuala sungai Gombak dengan sungai Kelang sekitar 200an tahun silam. Awalnya penambangan ini mempekerjakan buruh upahan dari China, kemudian diikuti dengan rombongan buruh dan peniaga dari Kuantan (Riau), Kampar (Riau), Mandailing (SUMUT)dan Minang (sedangkan perantau Jawa lebih memilih ke Kuala Selangor). Hingga 1836 Kuala Lumpur sudah mulai ramai.


Salah satu penempatan orang Kuantan dari Sumatera ialah di daerah tanah gambut, mereka membuka sawah menanam padi (ini masuk akal karena orang Kuantan memang biasa membuka rawa gambut menjadi sawah), maka terkenal lah daerah itu sebagai Segambut. Jalur awal untuk ke sini, harus melalui Jalan Ipoh , boleh tembus ke Sentul dan Gombak. Dari pinggir bukit Kiara, petani boleh mendapatkan hasil hutan: jering (jengkol), petai, termasuk binatang ayam denak (ayam hutan), tupai bebas melompat dan burung terkukur berlagu-lagu.


Tapi sekarang kampung Segambut telah tergerus kemajuan metropolitan Kuala Lumpur. Banyak penduduk (ahli waris) yang digusur untuk pengembangan kawasan pemukiman modern, mulai dari Kondominium Mont Kiara dan Sri Kiara hingga perumahan kelas menengah Taman Sri Segambut dan Bandar Manjalara. Masih tersisa kampung lama yaitu Kampung Segambut Dalam dan Sungai Penchala. Banyak pihak yang menyayangkan pupusnya kawasan perkampungan asli ini.


Saya menemukan kisah ini ketika blogwalking ke blog SITI ZAINON ISMAIL seorang perupa dari Selangor, Malaysia. Tulisan ini saya ubah suai untuk di publish di sini. Bagi saya ini menarik, karena selama ini yang saya tahu orang Kuantan banyak yang merantau ke Kelang (poi ke Kolang), terutama di awal abad XX masa awal penguasaan Kuantan oleh Kolonial Belanda. Atau mungkin yang dimaksud merantau ke Kelang itu juga termasuk ke Kuala Lumpur sekarang, mengingat Kuala Lumpur juga terletak di tepian sungai Kelang. Bila suatu saat saya ke Kuala Lumpur, ingin sekali singgah ke Segambut, menapaktilasi perantau Kuantan di Semenanjung.

Minggu, 07 Februari 2010

Pulau Bidadari: Private Island yang Kontroversial

Perjalanan selama dua pekan di Nusa Tenggara Timur di awal 2008 berakhir di kota Labuan Bajo, kabupaten Manggarai Barat di ujung barat pulau Flores. Masih ada waktu setengah hari menunggu penerbangan ke Denpasar sebelum balik ke Jakarta. Sebenarnya saya ingin sekali ke pulau Komodo. Tetapi waktu terlalu suntuk. Team Leader kami, dokter hewan senior kelahiran Manggarai menawarkan untuk berkunjung ke Pulau Bidadari, private island di salah-satu pulau di wilayah Taman Nasional Komodo yang menghebohkan karena dikabarkan dibeli warga negara asing.

Tujuan utama ke pulau bidadari adalah melepas rasa penasaran akan pulau yang kontroversial itu, sekadar menikmati pantainya yang putih bersih serta pelayaran di antara pulau-pulau kecil di selat Sape (antara pulau Sumbawa dan Flores). Walau tanpa appointment, kami berharap bisa bertemu dengan EL warga negara Inggris yang menjadi terkenal karena dikabarkan membeli pulau itu.

Pulau Bidadari hanya berjarak sekitar 6 km dari Labuan Bajo kami tempuh selama sekitar 20 menit dengan menyewa boat kayu yang memang biasa melayani wisatawan untuk disewa untuk mengunjungi pulau-pulau di kawasan Taman Nasional Komodo.
Setelah merapat di pantainya yang berpasir putih, dengan jelas terbaca papan peringatan "DILARANG MASUK KAWASAN PRIBADI/ NO ENTRY PRIVATE PROPERTY", terasa kurang bersahabat. Seorang perwakilan dari kami menghubungi pos penjagaan dan meminta satpam untuk mengirim pesan ke EL bahwa kami rombongan dokter hewan dari Labuan Bajo, Kupang, Denpasar dan Jakarta ingin bertemu dengan dirinya. Seperti sudah kami duga, sebagaimana umumnya orang barat yang respect terhadap dokter hewan, EL mengijinkan kami masuk ke pulau itu dan bertemu langsung dengan kami.

Pantai Pulau Bidadari

Dilarang Masuk

Sekitar satu jam kami berbincang dengan EL. Latar belakangnya sebagai ahli biologi dengan kekhususan penyu membuat obrolan kami bisa nyambung. Kami menanyakan tentang kontroversi penjualan pulau Bidadari serta isu pelarangan nelayan menangkap ikan di perairan pulau itu. Dia menegaskan tidak membeli pulau itu dan hanya datang sebagai investor. Dia melarang para nelayan dan penduduk setempat melakukan penangkapan ikan di pulau tersebut karena para nelayan sering merusak terumbu karang yang masih sangat indah di wilayah itu. Menurut dia kelestarian terumbu karang sangat penting untuk dijaga untuk pengembangan wisata under water yang pada akhirnya akan memiliki kontribusi pada perekonomian setempat.

Terlepas dari kebenaran penjelasan EL, yang patut digarisbawahi adalah visinya untuk membangun fasilitas pariwisata di sana. Selama ini turis asing yang berkunjung ke Kawasan Taman Nasional Pulau Komodo banyak yang merupakan penumpang kapal pesiar. Mereka hanya turun untuk menikmati komodo dan diving, selebihnya menginap dan makan di kapal Pesiar yang hampir seluruhnya milik asing. Ini artinya daerah wisata tidak mendapat nilai tambah. Dengan membangun resort seperti pulau Bidadari akan meningkatkan turis yang singgah dan menginap didarat sehingga lebih berkontribusi bagi perekonomian daerah.

Pada akhir perbincangan EL mengantar kami untuk meninjau project pembangunan bungalow yang sedang dalam tahap pengerjaan.

Pembangunan Bungalow

Kredit Foto hurek.blogspot.com

Rabu, 03 Februari 2010

Eksotisme Pulau Sumba

Saya selalu menikmati tugas ke daerah untuk pekerjaan lapangan, karena bisa bekerja sambil mengenali masyarakat dan budaya lokal. Awal 2008 saya ditugaskan kantor ke Pulau Sumba. Saya beruntung punya teman sekelas waktu kuliah di Jogja yang sekaligus menjadi counterpart saya untuk urusan pekerjaan itu. Perfect! Di sela-sela pekerjaan, dia dengan senang hati mengantar saya ke Kampung Merapu, kampung asli orang Sumba. Tidak perlu membayar guide, dia sangat menguasai sejarah dan budaya Sumba.



Rumah adat yang unik dan kubur batu megalitikum

Di kampung asli dapat dijumpai rumah adat Sumba. Atap rumah yang berbahan rumput ilalang kebanyakan menjulang tinggi. Ketinggian atap menunjukkan strata pemiliknya dalam adat. Aturan ini dijaga ketat hingga sekarang. Walaupun orang kaya, tetapi bila stratanya dalam adat rendah, mereka tidak boleh memiliki atap rumah yang menjulang. Uniknya, dapur dalam rumah sumba berada di bagian tengah. Di lingkungan rumah adat terdapat sisa-sisa kebudayaan megalitik yaitu kubur batu yang sudah berusia ratusan atau mungkin ribuan tahun.

Jadwal penerbangan yang aneh

Saya masuk ke Sumba Barat melalui Bandara Tambolaka. Penerbangan dari Bandara Tambolaka ke Bandara maumere di pulau Flores sudah confirmed. Tapi sehari sebelum jadwal, pagi-pagi saya ditelpon pihak airlines bahwa jadwal penerbangan yang sudah saya pesan dibatalkan. Airlines menawarkan untuk terbang hari itu juga dari Bandara Waingapu di Sumba Timur. Untuk itu saya harus melakukan perjalanan darat melintasi Pulau Sumba selama sekitar empat jam mengejar penerbangan pukul 14.00. Keanehan jadwal penerbangan ternyata masih berlanjut. Karena alasan teknis ternyata pilot tidak mengarahkan pesawat ke Bandara Maumere, tetapi dialihkan ke Bandara Eltari Kupang di pulau Timor dan para penumpang diinapkan semalam di hotel di kota Kupang. Baru keesokan harinya para penumpang tujuan Maumere di terbangkan. Jadwal penerbangan yang saya pesan adalah Tambolaka – Maumere (direct) tetapi kenyataannya menjadi Tambolaka – (via darat) Waingapu – Kupang – Maumere. What a terrible flight schedule! Tapi tidak rugi juga karena bisa menikmati pemandangan alam Sumba, terutama sabana yang membentang luas.





Kredit foto http://sumbaisland.com/
(Dokumentasi selama perjalanan di Sumba hilang gara-gara disimpan di bagasi)

Senin, 01 Februari 2010

Mekong Fish

Satu hal yang membuat saya terkesan dengan Luang Prabang, kota kuno di tepi sungai Mekong, Laos - adalah ikan sungai (fresh water fish). Di pasar tradisional sangat mudah mendapatkan pedagang yang menjual ikan sungai segar. Di tepi jalan, pedagang kaki lima banyak menjajakan ikan bakar air tawar. Di restoran dan hotel, menu makanan berbahan ikan air tawar selalu tersedia. Luang Prabang adalah surga bagi pencinta masakan ikan air tawar. Sementara itu, tidak seperti negara ASEAN lainnya, seafood adalah barang yang sangat mahal karena negara ini tidak memiliki laut.

Bila di Pekanbaru ada rumah makan/ restoran yang di label dengan jenis ikan tertentu misalnya Pondok Patin atau Pondok Baung, tidak demikian dengan Luang Prabang. Di sana mereka lebih suka melabel dengan Mekong Fish Restaurant saja. Demikian juga dengan daftar menu, kita akan menemukan nama makanan seperti ini: Fried Mekong Fish, Steamed Mekong Fish, Grilled Mekong fish...apa pun makanannya mekong fish namanya (seperti iklan teh...).

Kebanyakan ikan yang ada sangat mirip dengan ikan-ikan air tawar di Riau dan Sumatera umumnya, ada yang mirip patin, belida, kepiat. Saya penasaran untuk mengetahui nama-nama ikan itu dalam bahasa lokal. Herannya, setiap saya bertanya dan untuk ikan jenis apa saja, jawabannya selalu "mekong fish!"....

Saya :"What type of fish is that?"
Mereka: "Mekong fish!"

Sungai Mekong

"Mekong Fish" segar

Ikan Bakar Kaki Lima

Karena ikan air tawar di Luang Prabang sangat melimpah, kadang saya curiga apa benar semuanya ditangkap dari Sungai Mekong? Sepertinya sebagian adalah hasil budidaya di kolam. Walaupun dipelihara di kolam, namanya tetap Mekong Fish...