Jumat, 29 Januari 2010

Menemukan "Kuala Lumpur"



Menara Kembar Petronas mungkin menjadi daya tarik utama bagi pengunjung Kuala Lumpur. Tidak banyak orang yang tertarik untuk mengetahui asal muasal nama Kuala Lumpur. Bagi saya yang dibesarkan di daerah aliran sungai Kuantan, Sumatera - sangat familiar dengan nama-nama tanjung, teluk dan kuala. Saya yakin nama Kuala Lumpur pastilah berhubungan dengan "kuala" atau pertemuan anak sungai dengan sungai yang lebih besar. Dimana kuala itu berada? Dari hasil pencarian, baca sana-sini, saya menemukan bahwa Sungai Gombak merupakan sebatang sungai yang mengalir melalui Selangor dan Kuala Lumpur di Malaysia. Ia merupakan anak Sungai Kelang. Tempat di mana ia bertemu dengan Sungai Kelang (dalam bahasa melayu di sebut kuala) merupakan asal nama Kuala Lumpur.

Pertemuan Sungai Kelang dan Sungai Gombak berada di belakang Sultan Abdul Samad Building. Di sinilah kegiatan pertambangan biji timah bermula di Kuala Lumpur, yang menjadi titik awal pertumbuhan kota ini.

Selain Sultan Abdul Samad Building, cukup banyak landmark kota Kuala Lumpur di sekitarnya, seperti Masjid Jamek Kuala Lumpur, Stesen Kereta api Tanah Melayu (KTM)dan cukup dekat juga dengan Central Market serta Litle India (Jalan Tun Sambanthan). Bagi saya, kawasan titik awal kota Kuala Lumpur ini merupakan bagian yang terpenting untuk dikunjungi bila melancong ke sana.

Senin, 25 Januari 2010

Tumbuhan Liar di Belakang Rumah

Hanyalah tumbuhan liar di semak-semak belakang rumah di Batu Gajah, nun jauh di sana di perut pulau Sumatera. Semasa kecil, memetik dan memakan buah karamunting, keduduk dan nasi-nasi di pinggir rimba adalah salah satu kegiatan mengasikkan bersama teman-teman sepermainan di kampung. Setelah hidup di tengah hutan beton seperti Jakarta, kenangan itu menjadi daya tarik untuk pulang ke kampung halaman.

Saat ini mungkin tumbuhan seperti ini sudah mulai langka. Mungkin dianggap tidak bernilai ekonomi, atau malah dianggap sebagai gulma pesaing hara di kebun kelapa sawit atau getah. Sayang sekali tumbuhan seperti ini harus punah. Banyak tumbuhan kita yang belum dieksplorasi secara optimal. Mungkin saja tanaman-tanaman itu mengandung senyawa obat yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan kemanusiaan dan pengembangan industri hayati yang bernilai ekonomi tinggi.

Tumbuhan khas tropis seperti ini mungkin juga menjadi obyek yang menarik bagi pelancong pencinta alam dari mancanegara terutama dari negara-negara non tropis. Mungkin sama seperti orang Indonesia ingin melihat bunga sakura bermekaran di Jepang.

*****

Karamunting( Rhodomyrtus tomentosa W. Ait.), Bunga

Karamunting, Buah

Nasi-nasi (Symplocos fasciculate)

Keduduk (Melastoma malabathricum), Bunga

Keduduk, Buah

Catatan: gambar ilustrasi bersumber dari http://www.flickr.com

Jalur Koleksi Anjungan Riau TMII

Pacu Jalur merupakan salah satu tradisi di Kabupaten Kuantan Singingi. Pacu Jalur adalah sejenis lomba dayung yang menggunakan Jalur, sejenis perahu yang berukuran sangat panjang. Seperti yang ditulis di Pacu Jalur Khasanah Budaya Kuantan Singingi, jalur dibuat dari batang kayu utuh tanpa sambungan dengan panjang jalur antara 25--30 meter, dengan lebar pada bagian lambung tengah 1,25 - 1,5 meter.

Tempat terbaik untuk menyaksikan Jalur tentu saja di Kabupaten Kuantan Singingi tempat Jalur ini berasal, terutama saat penyelenggaraan Pacu Jalur, festival tahunan dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan RI. Bagi blogger yang belum berkesempatan mengunjungi Kabupaten Kuantan Singingi, dapat menyaksikan keunikan Jalur di Anjungan Riau di Taman Mini Indonesia Indah. Berikut ini gambar Jalur koleksi TMII:

Rumah Jalur, tempat menyimpan Jalur.

Haluan, detail talingo (telinga)dan nama Jalur


Selembayung, pada bagian kemudi


Minim Informasi
Seperti kebanyakan koleksi TMII, koleksi Jalur ini juga sangat minim informasi. Koleksi ini hanya menjadi seonggok benda bisu yang tak dapat bercerita tentang dirinya. Saya menyaksikan sendiri pelancong Malaysia yang sepertinya tertarik dengan Jalur yang unik, tapi mereka bertanya-tanya sesama mereka tanpa tahu harus mencari informasi ke mana.

Alangkah baiknya bila Pemerintah Provinsi Riau atau Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi mengadakan panel informasi yang menceritakan tentang Jalur dan Tradisi Pacu Jalur. Saat berkunjung pada Liburan tahun baru 1 Januari 2010, kami malah disuguhi Orkes Dangdut. Saya sama sekali tak paham, apa hubungan Orkes Dangdut dengan promosi Budaya & Pariwisata Riau. Menurut saya, lebih baik dana untuk nanggap Orkes Dangdut itu dimanfaatkan untuk (misalnya) mengadakan panel informasi.

Jumat, 15 Januari 2010

Gulai Cipuik

Pertama kali mengunjungi Ha Noi akhir tahun 2007, bersama teman-teman peserta workshop dari negara-negara ASEAN kami dijamu makan malam di Restoran Vietnam oleh panitia. Menu yang paling berkesan bagi saya adalah Vietnamese Escargot. Masakan ini berbahan baku daging siput cincang yang dicampur bumbu dan dibungkus dengan sehelai kecil daun beraroma (saya sudah agak lupa, mungkin serai wangi), kemudian disumbatkan kembali ke cangkangnya dan dikukus. Saya pikir cara pengolahan seperti itu membuat aroma siput tertutupi tetapi rasanya tetap original.

Siput yang digunakan di Vietnam berukuran lebih besar dari siput sawah tapi lebih kecil dari keong emas (seukuran sekitar 3 butir kelereng) dan berwarna hitam kecoklatan.

Escargot [baca ɛskaʁɡo], merupakan bahasa Perancis untuk siput, juga untuk menyebut masakan Perancis yang terbuat dari siput. Mengingat Vietnam pernah menjadi jajahan Perancis, saya menduga Vietnamese Escargot merupakan adaptasi Escargot a la Perancis dengan menggunakan siput dan bumbu lokal Vietnam.

Vietnamese Escargot

Menjadi menu restoran dan hotel berbintang...

...juga dijajakan di kaki lima

Menikmati Vietnamese Escargot di Ha Noi, membuat saya bermimpi Gulai Siput Kuantan 'made in' kampung saya menjadi menu Hotel dan Restoran atau setidaknya di Rumah Makan di kota kecil Teluk Kuantan. Mungkin orang Eropa akan menyebutnya Kuantanese Escargot??? Gulai Cipuik juga keren kok.

Gulai Siput Kuantan

Gulai cipuik a.k.a gulai siput Kuantan Siput dibuat dari siput sawah.Ukurannya kira-kira seukuran biji kelereng hingga lebih besar sedikit dari kelereng. Di Kabupaten Kuantan Singingi siput biasanya ditangkap di sawah pada musim kering atau saat curah hujan tidak terlalu tinggi. Pada puncak musim hujan saat sawah tergenang banyak air agak sulit untuk menangkap siput. Siput segar (umumnya dalam keadaan masih hidup) bisa ditemukan di pasar tradisional di Kabupaten Kuantan Singingi, dijajakan oleh ibu-ibu di emperan pasar.

Siput dimasak dengan kuah berbumbu pedas ‘sedang’ dan santan yang tidak terlalu kental. Biasanya siput dimasak bersama salah satu sayur pelengkap (dalam bahasa lokal disebut rampai) seperti kacang panjang, pucuk daun keladi, terung asam, atau pakis (paku). Rasanya? kenyal dan seru. Seru, karena untuk memakannya perlu usaha ekstra. Daging siput disedot (di-slurup) hingga terlepas dari cangkang. Bila makan bersama, suara sedotan membuat suasana makan menjadi ramai oleh suara sedotan yang bersahutan. Agar mudah disedot bagian belakang cangkang dilubangi terlebih dahulu sebelum dimasak.

Bagi kawan blogger yang ingin mencoba makanan ini, saya rekomendasikan untuk tidak mencarinya di rumah makan, setahu saya makanan yang satu ini belum menjadi menu rumah makan. Makanan ini hanyalah menu rumahan keluarga Kuantan. Untuk menikmatinya kita harus mengunjungi keluarga Kuantan. Bila berkunjung ke Kabupaten Kuantan Singingi, anda bisa kontak kawan blogger dari Kuansing Blogger Community, mereka akan dengan senang hati menjamu anda dengan gulai siput.

A River Cruise Along the Chao Phraya River

Ketika melakukan perjalanan ke luar negeri, sungai merupakan top list yang harus saya kunjungi, walaupun harus mencari waktu disela-sela pekerjaan.

Chao Phraya merupakan bagian Thailand yang paling menarik bagi saya. Thailand yang sedang giat membangun, tetap menjaga Chao Phraya sebagai identitas dan sejarah bangsa Thai. Chao Phraya tetap menjadi urat nadi transportasi publik, transportasi barang dan menjadi obyek wisata. Lalu lintasnya cukup ramai, namun teratur.

Menyusuri Chao Phraya merupakan bagian dari paket wisata kota kuno Ayutthaya. Atau sekedar menikmati makan malam di restoran terapung sambil menikmati suasana malam Kota Bangkok secara lebih beradab (bagi yang suka dengan night life yang 'liar' tentu ini bukan pilihan yang tepat).

Menyusuri Chao Phraya dengan Grand Pearl Cruise, membuat saya merindukan Kuantan (Indragiri), Kampar, Siak dan Rokan yang merupakan sungai utama di Provinsi Riau. Perjalanan itu membuat saya bermimpi sungai-sungai di kampung halaman bisa dikembangkan lebih maksimal, sebagai pendukung ekonomi rakyat, melestarikan sejarah dan identitas riverine culture yang telah diwariskan oleh leluhur. Tak ada salahnya belajar dari bangsa lain

Bus Air, Moda Transportasi Publik di Bangkok


Budhist Temple yang indah banyak menghiasi tepian Chao Phraya


Masjid pun ikut mewarnai


Kampung tradisional tetap bertahan, tapi kebersihan dijaga


Dermaga Kapal Wisata (Cruise)


Makan siang di Cruise

Rabu, 13 Januari 2010

Kapel Tua di Deakin University

Deakin University di negara bagian Victoria memiliki empat kampus. Satu kampus berada di Waurn Ponds, Geelong.

Menginap di on-campuss accommodation, tidak banyak aktifitas yang bisa dilakukan di petang hari setelah course usai, kecuali berkeliling meng-explore kampus. Tidak sia-sia membawa sepatu kets karena bisa jalan-jalan sore dengan nyaman di petang musim panas di bulan Februari 2007. Masa seminggu di Deakin University, cukup untuk mengenali setiap sudut kampus yang rindang. Danau dan lahan basah membuat lansekap kampus lebih menarik.

Banyak hal yang menarik, tapi yang paling menarik bagi saya adalah sebuah bangunan kapel (gereja dengan ukuran kecil) yang sudah berumur lebih dari satu setengah abad. Ternyata bangunan tua ini telah mengalami relokasi, tetapi masih tampak asli. Relokasi dilakukan bersamaan dengan restorasi, melibatkan berbagai pihak yang berwenang dengan berbagai keahlian. Kapel dibangun kembali, bata demi bata tanpa merusak tampang bangunan asli. Suatu opaya konservasi bangunan tua yang patut mendapat acungan jempol.

Kapel Tua, Deakin University

Cafetaria, Deakin University


Berikut ini sejarah kapel yang disalin dari http://www.deakin.edu.au/fmsd/services/roombookings/chapel.php

The History

In 1857 tenders were called for the erection of a Roman Catholic Church on the corner of Sutherland's Creek Road and Loundes Road, Steiglitz. The church was designed by architects Shaw and Dowden and built of local quartzite sandstone. It was named St. Johns and was used as both church and school until 1873 and then continued as a church until the early 1950s.

Over the following years it gradually fell into disrepair until, in 1983 the University negotiated with the Catholic Church, the National Trust and local authorities for the re-location and restoration of the building. This was a painstaking task achieved by a team that comprised members of the University staff, various specialists and young people working under the Employment Initiatives Program.

The Chapel was rebuilt block by block. Most of the windows came from the demolished St. Augustines Anglican Church in North Melbourne and the furniture was provided by the Friends of Deakin.

It was officially opened by His Excellency, the Governor of Victoria, Dr. Davis McCaughey, on 19 December 1986. As he said on that occasion "This building speaks of a past, going back to the pioneers in the Sutherlands Creek district; and it is a building of character and beauty".

It is truly ecumenical church for the present and future. It combines architectural elements from both the Catholic and Anglican traditions and now welcomes people of diverse religious backgrounds in their prayer and worship.