Tribute to Mr Sayuti Kamal (guru bahasa Inggris saya di SMPN 2 Air Molek) dan Ms Sasti Karmiyani (guru bahasa Inggris saya di SMAN Teluk Kuantan).
Secara formal saya belajar Bahasa Inggris hanya di SMP dan SMA. Lumayan, 6 tahun, itu pun di sekolah kampung di pedalaman Riau sana. Selebihnya belajar sendiri dari membaca buku. Tak pernah ikut kursus di luar itu. Unfortunately, di universitas juga tidak dapat mata kuliah bahasa Inggris. Karena kurang terlatih, speaking dan listening saya agak kurang berkembang.
Mengawali karir sebagai field officer, melayani petani small holder di pedalaman Riau selama 3 tahun dan kemudian sebagai instructor di universitas (juga di Riau) selama 2 tahun. Pekerjaan saya saat itu hampir tidak menuntut kemampuan bahasa Inggris. Akhirnya saya bergabung dengan Departemen tempat saya bekerja saat ini. Surprised, baru beberapa minggu bekerja di kantor pusat di Jakarta, saya sudah dipercaya menjadi counterpart bagi expert asal Australia (yang tidak menguasai Bahasa Indonesia) untuk suatu tugas lapangan selama 2 pekan di Bali, Lombok dan Makasar. Honestly, saya mohon maaf kepada si Bule bahwa saya mungkin akan sedikit menyulitkan dia dengan bahasa Inggris saya yang sangat tidak baik. Surprised dengan responnya, dia bilang “You are better than me!” "kamu berbahasa Indonesia dan menguasai English dengan baik, sementara saya berbahasa Inggris tidak mengusasi Bahasa Indonesia sama sekali". Pengalaman ini yang membuat saya PD berbahasa Inggris, walaupun dengan banyak keterbatasan. English memang bukan bahasa kita, tidak perlu takut salah, kalau salah atau kurang tepat wajar saja, wong bukan bahasa kita.
Dalam beberapa kali perjalanan ke luar negeri, mengikuti meeting/ conference/ training, saya sering menemukan peserta dari non-English speaking countries yang kemampuan bahasa Inggrisnya jauh lebih buruk dari saya. Sekali lagi ini bikin PD (jeleknya kadang bikin males belajar untuk improve, karena merasa sudah cukup).
Sabtu, 28 November 2009
Kamis, 26 November 2009
Cooking for survival
Di keluarga saya ada prinsip: anak laki-laki harus bisa memasak.Ibu saya berkeinginan anak laki-lakinya sekolah setinggi-tingginya dan merantau sejauh-jauhnya untuk meraih kesuksesan. Oleh karena itu anak lagi-laki harus bisa memasak agar urusan lidah dan perut tidak menjadi kendala ketika berada jauh dari keluarga, terlebih ketika berada di negeri di mana makanan melayu sulit didapat (karena langka atau karena mahal). Saya membuktikan, konsep ini benar adanya.
Saya berkesempatan mengikuti training di Brisbane selama dua pekan pada tahun 2005 atas sponsor suatu organisasi di Australia. Sebenarnya keikutsertaan saya hanya sebagai penerjemah untuk tiga peserta lainnya dari daerah yang bahasa Inggrisnya memang sangat tidak bagus. Jadilah saya ikut training, dengan tugas utama sebagai penerjemah (dengan bahasa Inggris yang pas-pasan juga)dan sekaligus sebagai peserta training. Sponsor setuju, budget yang semula hanya untuk membayar penerjemah lokal, bisa dimanfaatkan untuk membiayai keberangkatan dan akomodasi saya selama dua minggu di Brisbane, tapi dengan konsekuensi hanya mendapat pocket money sangat kecil. Saking kecilnya, uang sejumlah itu hanya bisa untuk beli burger di pinggir jalan, untuk sekali makan.
Untuk makan siang, masalahnya bukan cuma uang saku tidak cukup untuk makan siang di restoran (atau kafetaria), tetapi di laboratoium/ centre tempat saya training (yang berlokasi di pedesaan Queensland) tidak tersedia cafetaria. Semua karyawan di sana membawa lunch box masing-masing.
Untunglah organizer menyewakan furnished apartment dengan dapur yang nyaman dan peralatan masak yang lengkap. Cukup ngirit dengan masak sendiri untuk sarapan, bekal makan siang dan makan malam. Belanja bahan masakan saat perjalanan dinas, memberi sensasi tersendiri. Pengalaman yang paling mengesankan adalah berbelanja di toko Vietnamese di Darra (berlokasi diantara Taringa tempat saya tinggal dan Wacol tempat saya training). Darrra merupakan kawasan pemukiman Vietnamese (mirip china town). Surprised menemukan Asian Food segar dan lengkap di Brisbane. Dan lebih surprised lagi, pemilik toko sangat hormat setelah tahu kalau kami adalah orang Indonesia. Dia sangat mengapresiasi peran Indonesia menampung manusia perahu ketika konflik Vietnam Utara dan Selatan pada masa lalu. Kami selalu mendapat sambutan hangat plus diskon setiap belanja di sana.Baca juga: http://www.thejakartapost.com/news/2009/08/04/revisiting-refugees-galang-island.html
Agar irit, belanja daging, ayam (plain maupun marinated) dan roti di Supermarket ada seni tersendiri. Items yang akan segera expire biasanya dijual dengan diskon hingga 50%. Pulang training biasanya kami mampir di supermarket yang berdekatan dengan stasiun kereta untuk hunting daging dan ayam diskon buat bahan masakan esok harinya.
Apartemen di Taringa
Vietnamese Shop di Darra
Rabu, 25 November 2009
Cairns: Backpacking
Business hour: convention
Pleasure: jalan-jalan sore
Godaan untuk backpacking timbul ketika saya mendapat tugas kantor untuk mengikuti pre-conference workshop pada suatu konferensi ilmiah perhimpunan internasional epidemiologi dan ekonomi veteriner di Cairns Queensland pada pertengahan 2006. Sponsor hanya membiayai pre-conference workshop, padahal konferensi utamanya jauh lebih menarik untuk diikuti, artinya perlu extend tinggal di Cairns. Untung saja sponsor membebaskan peserta untuk meng-organize sendiri akomodasi di Cairns, dan biaya akomodasi dapat diambil di kantor perwakilan mereka di Jl. Thamrin.
Saya mendapat info dari sahabat yang sedang sekolah di Australia, bahwa Cairns merupakan kota wisata dan banyak penginapan murah. Setelah browsing sana-sini saya menemukan backpacker hostel dengan harga yang sangat murah, dan memesan kamar untuk beberapa hari di Cairns. Budget dari sponsor yang cuma cukup untuk akomodasi selama pre-conference worshop, bisa buat bayar kamar lebih lama di backpacker hostel.
Lelucon terjadi di Imigrasi di Bandara Cairns. Petugas imigrasi berulang-ulang menanyakan apa jenis passport saya dan di mana saya akan tinggal. Padahal jenis passport sudah tertera di buku passport sedangkan alamat di Cairns sudah saya tulis dengan jelas di form imigrasi. Kenapa petugas imigrasi jadi bingung??? Hehehe mungkin... emang nggak lazim ada official suatu negara yang menggunakan passport dinas, nginap di backpacker hostel. Oh Ibu Pertiwi...maafkan anakmu telah menjatuhkan citra PNS negaraku di depan petugas imigrasi negara lain...
Hostel
Dapur umum: namanya juga hostel, kudu nyiapin sarapan sendiri, di sini tempatnya
Asian Food Store: next door to hostel - Indomie(TM), telur, sarden: beli disini
Hostel adalah tempat penginapan para backpackers dimana satu kamar terdiri dari beberapa tempat tidur, biasanya model tempat tidur bertingkat (bunk bed), ini definisinya Trinity si ratu backpacker. Di hostel yang saya tumpangi, kamar atau dorm berkapasitas 4 orang: ada satu bunk bed dan dua dipan single. Dasar culun tadinya saya tidak tahu kalo di kamar hostel yang saya tumpangi gabungan cewek dan cowok dalam 1 kamar. Waktu kami masuk (saya dan seorang co-participant dari Jakarta) sudah ada seorang cowok - ABK kapal nelayan Newzealand, kemudian pada malam kedua masuk mahasiswi asal Sydney. Inilah pengalaman pertama (dan terkahir) saya tidur sekamar dengan perempuan bukan mukhrim (katanya sih kalau sama-sama tidur doesn't matter, yang masalah kalo sama-sama bangun hahaha).
Dasar culun juga, saya nggak ngebayangin hostel itu akan sangat brisik. Di dekat resepsionis ada bar tempat tamu-tamu ngumpul-ngumpul dan berpesta sepanjang malam dengan suara hingar bingar. Belum lagi room mate yang balik ke kamar dalam keadaan mabok. Lain kali kalo nginap di hostel lagi, saya mau bawa ear protectors kayak yang dipake petugas parkir pesawat di bandara, biar bisa tidur nyenyak.
Pleasure: jalan-jalan sore
Godaan untuk backpacking timbul ketika saya mendapat tugas kantor
Saya mendapat info dari sahabat yang sedang sekolah di Australia, bahwa Cairns merupakan kota wisata dan banyak penginapan murah. Setelah browsing sana-sini saya menemukan backpacker hostel dengan harga yang sangat murah, dan memesan kamar untuk beberapa hari di Cairns. Budget dari sponsor yang cuma cukup untuk akomodasi selama pre-conference worshop
Lelucon terjadi di Imigrasi di Bandara Cairns. Petugas imigrasi berulang-ulang menanyakan apa jenis passport saya dan di mana saya akan tinggal. Padahal jenis passport sudah tertera di buku passport sedangkan alamat di Cairns sudah saya tulis dengan jelas di form imigrasi. Kenapa petugas imigrasi jadi bingung??? Hehehe mungkin... emang nggak lazim ada official suatu negara yang menggunakan passport dinas, nginap di backpacker hostel. Oh Ibu Pertiwi...maafkan anakmu telah menjatuhkan citra PNS negaraku di depan petugas imigrasi negara lain...
Hostel
Dapur umum: namanya juga hostel, kudu nyiapin sarapan sendiri, di sini tempatnya
Asian Food Store: next door to hostel - Indomie(TM), telur, sarden: beli disini
Hostel adalah tempat penginapan para backpackers dimana satu kamar terdiri dari beberapa tempat tidur, biasanya model tempat tidur bertingkat (bunk bed), ini definisinya Trinity si ratu backpacker. Di hostel yang saya tumpangi, kamar atau dorm berkapasitas 4 orang: ada satu bunk bed dan dua dipan single. Dasar culun tadinya saya tidak tahu kalo di kamar hostel yang saya tumpangi gabungan cewek dan cowok dalam 1 kamar. Waktu kami masuk (saya dan seorang co-participant dari Jakarta) sudah ada seorang cowok - ABK kapal nelayan Newzealand, kemudian pada malam kedua masuk mahasiswi asal Sydney. Inilah pengalaman pertama (dan terkahir) saya tidur sekamar dengan perempuan bukan mukhrim (katanya sih kalau sama-sama tidur doesn't matter, yang masalah kalo sama-sama bangun hahaha).
Dasar culun juga, saya nggak ngebayangin hostel itu akan sangat brisik. Di dekat resepsionis ada bar tempat tamu-tamu ngumpul-ngumpul dan berpesta sepanjang malam dengan suara hingar bingar. Belum lagi room mate yang balik ke kamar dalam keadaan mabok. Lain kali kalo nginap di hostel lagi, saya mau bawa ear protectors kayak yang dipake petugas parkir pesawat di bandara, biar bisa tidur nyenyak.
Langganan:
Postingan (Atom)