Minggu, 08 Juli 2012

Nongkrong di Indische Koffie

Ketika traveling untuk urusan pekerjaan, bila harus menunggu penerbangan berjam-jam lamanya, jalan-jalan dan icip-icip kuliner lokal adalah cara terbaik untuk killing time.

Sejak masa saya kuliah dulu, Jogja di bulan Juni selalu sibuk dengan Festival Kesenian Yogyakarta, FKY, yang dipusatkan di Benteng Vredeburg. Juni lalu saya harus menunggu cukup lama untuk terbang kembali ke Jakarta. Penyebabnya adalah short notice dari kantor untuk memperpanjang tinggal di Yogya untuk mengikuti pertemuan lain, sudah tidak leluasa memilih penerbangan.

Niat awalnya hanya ingin mengunjungi museum dan pameran seni di Benteng Vredeburg, seperti dulu saya sering melakukannya ketika bulan Juni, di sela-sela ujian semester, sendirian, juga seperti yang dulu saya lakukan. Namun ketika memasuki gerbang benteng, sebuah kafe berlabel "Indische Koffie" di pojok bangunan bahagian depan menarik perhatian saya. Seingat saya, dulu tidak ada kafe di museum ini. Setelah saya cek pada pelayan kafe, ternyata memang kafe ini baru saja grand opening.

Menurut saya, kerjasama museum dengan pengusaha mengelola kafe bergaya Indisch seperti Indische Koffie ini, membuat museum jadi lebih menarik. Pengunjung tidak saja melihat-lihat koleksi museum, tapi juga bisa merasakan atmosfer masa kolonial di kafe, sambil rehat setelah berkeliling museum.

Jumat, 06 Juli 2012

Solo Nightlife

Nightlife menurut wikipedia adalah "the collective term for any entertainment that is available and more popular from the late evening into the early hours of the morning. It includes the public houses, nightclubs, discothèques, bars, live music, concert, cabaret, small theatres, small cinemas, shows, and sometimes restaurants a specific area may have; these venues often require cover charge for admission, and make their money on alcoholic beverages. Nightlife encompasses entertainment from the fairly tame to the risque to the seedy. Nightlife entertainment is inherently edgier than daytime amusements, and usually more oriented to adults, including "adult entertainment" in red-light districts".

Tapi Nightlife a la Solo yang saya maksud adalah menghabiskan malam dengan wedangan di HIK yang banyak tersebar di kota Solo. Wedangan adalah bahasa Jawa untuk minum-minum minuman panas (kopi, teh, jahe dll). Sedangkan HIK adalah warung gerobak kaki lima yang merupakan singkatan dari "hidangan istimewa a la kampung" atau kadang HIK juga disebut wedangan. Gerobag biasa ditutupi dengan kain terpal plastik dan bisa memuat sekitar 8 orang pembeli. Beroperasi mulai sore hari, mengandalkan penerangan tradisional yaitu senthir, dan juga dibantu oleh terangnya lampu jalan.

Wedangan yang direkomendasikan oleh seorang teman adalah HICK GAUL PAK MUL. Untuk itu, harus mengendara ke luar kota ke arah Tawang Mangu tepatnya di Karang Anyar. Masih dengan gaya HIK atau Wedangan Solo, tetapi dengan kata GAUL pada labelnya, menunjukkan bahwa Pak Mul si pemilik HIK melakukan improvisasi walaupun tidak terlalu melenceng dari pakem HIK. Bila di HIK umumnya menghidangkan Wedang Jahe (Jahe Hangat)atau Wedang Jahe Susu, Pak Mul punya beberapa varian Jahe, saya memilih OBH yaitu wedang jahe yang dicampur kencur dan perasan jeruk nipis dan gula batu sebagai pemanis.

Pak Mul juga sangat kreatif membuat istilah lucu untuk nama makanan/ minuman dan prosedur di warungnya. Seperti "Nasi Manten Anyar" untuk Nasi Tumpang - tumpang dalam bahasa Jawa dapat berarti tindih (menindih). Ada pula "Sayur Ganja" singkatan dari garang asem jamur. Ada lagi "Nasi Cucu Ikan Paus" untuk sebutan nasi kucing dengan lauk ikan teri. Seperti umumnya warung HIK, penjual biasa menawari untuk menambahkan minuman di gelas pelanggan yang hampir kosong. Dalam bahasa Jawa prosedur ini adalah dijokki, oleh Pak Mul diplesetkan menjadi Supir Jaran, karena Jokki memang terdengar sama dengan Joki. Sungguh menyenangkan menghabiskan malam di HIK Pak Mul, sambil menghabiskan malam ngobrol ngalor ngidul dengan teman-teman, diselingi humor Pak Mul yang mengocok perut.

<>

Killing Time in Lombok

Saat dinas luar kota, ketika harus kembali ke Jakarta umumnya harus buru-buru menuju bandara, tapi kali ini everything is running surprisingly well. Bahkan setelah makan siang yang dibikin sesantai mungkin, masih ada 3 jam waktu luang sebelum jadwal penerbangan.

Bandara Internasional Lombok yang baru cukup jauh dari pusat Kota Mataram. Posisinya di Lombok Tengah kali ini malah menguntungkan karena dekat dengan obyek wisata di Lombok Tengah. Maka Desa Wisata Sade dan Pantai Kuta menjadi pilihan untuk killing time sebelum boarding ke Jakarta.

Desa Sade, merupakan desa asli suku Sasak yang tatanan desa serta masyarakatnya hidup tradisi Sasak. Semua bangunan rumah, lumbung, masjid,dan balai pertemuan adalah bangunan asli Sasak. Karena dijadikan sebagai obyek wisata, desa ini menjadi desa wisata yang cenderung terkesan sebagai kumpulan kedai-kedai penjual souvenier. Perempuan Sasak baik tua maupun muda melakukan pemintalan benang dan menenun terkesan hanya untuk atraksi wisata, dan melakukannya bila ada permintaan dari pemandu wisata. Sayang sekali, kesan alaminya menjadi berkurang dan cenderung artifisial. Namun demikian, untuk kunjungan singkat, desa wisata ini cukup ideal untuk dikunjungi sekedar untuk mengetahui gambaran superfisial desa asli Sasak.

Pantai Kuta, pantai dengan deburan ombak laut selatan pulau Lombok. Karena berada di teluk, ombak laut selatan yang besar, memecah lebih kecil di pantai ini. Suasana pantai cukup tenang, dibanding pantai-pantai wisata di Bali. Namun kurang tertib akibat warung-warung yang kurang tertata serta pedagang asongan souvenir yang memaksa pengunjung untuk membeli dagangannya, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak. Keunikan pantai ini adalah pasirnya yang berbutir seperti merica.